BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Perilaku
permintaan merupakan salah satu perilaku ekonomi yang mendominasi dalam praktek
ekonomi mikro, walaupun juga berlaku dalam praktek ekonomi makro. Itulah
sebabnya pembahasan mengenai permintaan yang ditinjau dari segi determinasi
harga terhadap permintaan selalu menjadi pokok kajian dalam ilmu ekonomi.
Determinasi harga terhadap permintaan dengan mengasumsikan faktor-faktor yang
mempengaruhinya dianggap tetap mengahasilkan hukum permintaan, sedangkan bila permintaan yang
menentukan harga maka disebut teori permintaan.
Permintaan
adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar tertentu dengan
tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode
tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita dihadapkan kepada keadaan
dimana kita harus memilih diantara dua pilihan barang yaitu barang halal dan barangharam, atau keadaan darurat dimana kita
terpaksa mengkonsumsi barang yang haram, bagaimanakah kita menghadapi pilihan
tersebut, serta bagaimanakah Islam memandang hal ini.
2. Rumusan
masalah
a. Hukum
permintaan
b. Teori
permintaan islam
c. Permintaan
menurut ekonomi konvensional
d. Permintaan
menurut ekonomi islam
e. Perbedaan
teori permintaan konvensinal dengan permintaan islam
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Hukum Permintaan
Permintaan terhadap barang atau jasa didefenisikan sebagai: kuantitas
barang atau jasa yang orang bersedia untuk membelinya pada berbagai tingkat
harga dalam suatu periode tertentu.
Dalam defenisi diatas digunakan kalimat aktif: orang bersedia untuk
membelinya, untuk memberikan penekanan pada kegiatan konsumsi yang dilakukan
secara aktif oleh masyarakat konsumen, yang dipengaruhi oleh tingkat harga.
Sedangkan kata ‘bersedia’ mendapatkan penekanan tersendiri. Didalamnya
terkandung makna, bahwa konsumen memiliki keinginan untuk membeli suatu barang
atau jasa, sekaligus ia juga memiliki kemampuan, yaitu uang atau pendapatan, untuk
membeli, dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Kemampuan tersebut
seringkali diberi istilah daya beli. Jadi konsep permintaan terhadap barang dan
jasa hanya memerhatikan konsumen yang memiliki keinginan dan daya beli
sekaligus.
a.
Asumsi-asumsi
Dalam anlisi permintaan terhadap suatu barang atau jasa, ditelaah faktor-faktor
yang mempengaruhi besar kecilnya kuantitas atau jumlah barang/jasa yang diminta
oleh konsumen. Banyak faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap suatu
barang/jasa. Yang paling utama adalah harga barang itu sendiri . selain itu,
factor-faktor selain harga barang tersebut juga mempengaruhi permintaan
terhadap barang itu. Contohnya adalah pendapatan masyarakat, harga barang lain,
serta selera.
Secara umum diketahui bahwa “semakin tinggi harga suatu barang semakin
kecil permintaan terhadap barang tersebut”. Penyataan diatas menerangkan
hubungan antara permintan suatu barang dengan harga barang tersebut, atau
dikenal dengan ‘hukum permintaan’. Dalam merumuskan hukum permintaan,
diasumsikan bahwa permintaan terhadap barang dan jasa hanya dipengaruhi oleh
harga barang dan jasa tersebut. faktor-faktor lain di luar harga barang
dianggap tetap. Asumsi ini sering dikenal dengan istilah cateris paribus.
b.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Permintaan
Seperti telah dikemukakan diatas, memang diketahui bahwa permintaan
terhadap suatu barang dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain disamping harga, faktor-faktor tersebut antara lain:
1)
Pendapatan
: semakin tinggi pendapatan seseorang, permintaan terhadap suatu barang akan
meningkat, walaupun harga barang tersebut tidak berubah.
2)
Harga
barang-barang lain yang terkait : permintaan terhadap susu murni akan meningkat
apabila harga susu bubuk naik.
3)
Selera :
hal lain yang mempengaruhi permintaan adalah selera, setiap individu memiliki
selera yang tidak sama dan selera juga bisa berubah dari peride ke periode.
4)
Jumlah
penduduk : semakin besar jumlah penduduk disuatu daerah, semakin banyak
permintaan terhadap suatu produk di daerah tersebut. Permintaan beras di
Indonesia setiap tahun selalu naik. Tentu saja, karena jumlah penduduk
Indonesia semakin lama semakin banyak, sehingga jumlah beras yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan mereka pun semakin banyak. Ini tercermin dengan
permintaan beras yang selalu naik.
2.
Teori
permintaan islami
Hal penting yang harus dicatat adalah bagaimana teori ekonomi yang
dikembangkan Barat membatasi analisisnya dalam jangka pendek yakni hanya sejauh
bagaimana manusia memenuhi keinginannya saja. Tidak ada analisis yang memasukkan
nilai-nilai moral dan sosial. Analisis hanya dibatasi pada variabel-variabel
pasar semata seperti harga, variabel-variabel lain tidak dimasukkan, seperti
variabel nilai moral, kesederhanaan, keadilan, sikap mendahulukan orang lain,
dan sebagainya.
Dalam ekonomi islam, setiap keputusan seorang manusia tidak terlepas dari
nilai-nilai moral dan agama karena setiap kegiatan senantiasa dihubungkan
kepada syariat. Al-qur’an menyebut ekonomi dengan istilah iqtishad
(penghematan, ekonomi), yang secara literal berarti ‘pertengahan’ atau
‘moderat’. Seorang muslim dilarang melakukan pemborosan (al-israa ayat 26-27).
Seorang muslim diminta untuk mengambil sebuah sikap moderat dalam memperoleh
dan menggunakan sumber daya. Dia tidak boleh israf (royal,
berlebih-lebihan), tetapi juga dilarang pelit (bukhl).
Q.S Al-Israa ayat: 26-27.
ÏN#uäur #s 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# wur öÉjt7è? #·Éö7s? ÇËÏÈ ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# (
tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ
26.
“dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. 27. “Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya”.
a.
Paradigma
Konsumsi Islami
Al-qur’an dan hadis mengajarkan, dalam perilaku konsumen antara lain:
1)
Islam
mengakui keterampilan dan kemampuan setiap individu berbeda-beda, karenanya
tidak adil dan tidak masuk akal apabila terjadi persamaan mutlak disemua
anggota masyarakat dalam hal pendapatan, konsumsi dan sebagainya.
2)
Islam
mewajibkan zakat, yakni mengeluarkan sebagian kecil harta yang telah melewati
batas nisab tertentu baik dari segi jumlah maupun waktu penguasaan . zakat
adalah kewajiban bagi umat islam yang mampu atau kaya. Jika berzakat wajib,
menjadi mampu atau kaya pun wajib, agar dapat menjalankan kewajiban berzakat
itu.
3)
QS.
Ar-Rum ayat 38:
ÏN$t«sù #s 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# 4
y7Ï9ºs ×öyz úïÏ%©#Ïj9 tbrßÌã tmô_ur «!$# (
y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÌÑÈ
“Maka
berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada
fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung”
Dalam tafsir dijelaskan bahwa yang berhak menerima
zakat adalah:
1. Orang fakir: orang yang amat sengsara
hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhannya;
2. Orang miskin: orang yang tidak cukup
penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan;
3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas
untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat;
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan
masuk islam, maupun orang yang baru memasuki islam dan imannya masih lemah;
5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk
melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir;
6. Orang yang berhutang: orang yang
berutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup
membayarnya;
7. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu
untuk keperluan pertahanan islam dan kaum muslimin. Diantara nufasirin ada yang
berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum
seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, dan lain-lain;
8. Musafir: orang yang sedang dalam
perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Di samping manusia harus mengendalikan konsumsinya, agama islam pun
menganjurkan pengeluaran untuk kepentingan orang lain, terutama fakir miskin.
Bahkan agama islam adalah satu-satunya agama yang mewajibkan pengeluaran untuk
kebutuhan orang lain, yakni dalam bentuk zakat. Di samping itu, islam sangat
menganjurkan pengeluaran suka rela untuk kepentingan sesama dalam bentuk infaq,
sedekah dan wakaf.
Adapun aturan islam mengenai bagaimana seharusnya melakukan kegiatan
konsumsi adalah sebagai berikut:
1.
Tidak
boleh berlebih-lebihan
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 141:
uqèdur üÏ%©!$# r't±Sr& ;M»¨Yy_ ;M»x©rá÷è¨B uöxîur ;M»x©râ÷êtB @÷¨Z9$#ur tíö¨9$#ur $¸ÿÎ=tFøèC ¼ã&é#à2é& cqçG÷¨9$#ur c$¨B9$#ur $\kÈ:»t±tFãB uöxîur 7mÎ7»t±tFãB 4
(#qè=à2 `ÏB ÿ¾ÍnÌyJrO !#sÎ) tyJøOr& (#qè?#uäur ¼çm¤)ym uQöqt ¾ÍnÏ$|Áym (
wur (#þqèùÎô£è@ 4
¼çm¯RÎ) w =Ïtä úüÏùÎô£ßJø9$# ÇÊÍÊÈ
“dan
Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung,
pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya
(yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari
memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.
Jika manusia dilarang untuk berlebih-lebihan, itu berarti manusia
sebaiknya melakukan konsumsi seperlunya saja. Ayat ini juga menjelaskan untuk
memerangi kemubadziran, sifat sok pamer, dan mengkonsumsi barang-barang yang
tidak perlu. Dalam bahasa ekonomi, perilaku konsumsi islami yang tidak berlebih-lebihan
didorong oleh faktor kebutuhan (needs) dari pada keinginan (wants).
Kebutuhan pun tidak terbatas kepada kebutuhan pribadi atau keluarga
semata-mata, tetapi juga kebutuhan sesama manusia yang dekat dengan kita.
Bukankah Nabi pernah bersabda “Tidak termasuk kedalam golonganku, orang yang
tidur dengan nyenyak sedangkan dia mengetahui tetangganya dalam keadaan kelaparan?”.
2.
Mengkonsumsi
yang Halal dan Thayyib (Q.S Al-Maidah: 87-88))
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qãBÌhptéB ÏM»t6ÍhsÛ !$tB ¨@ymr& ª!$# öNä3s9 wur (#ÿrßtG÷ès? 4
cÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏtF÷èßJø9$# ÇÑÐÈ (#qè=ä.ur $£JÏB ãNä3x%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# OçFRr& ¾ÏmÎ/ cqãZÏB÷sãB ÇÑÑÈ
87.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. 88. “dan makanlah makanan yang halal lagi
baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah
yang kamu beriman kepada-Nya”.
Konsumsi seorang muslim dibatasi kepada barang-barang yang halal dan
tayyib Tidak ada permintaan terhadap
barang yang haram. Dalam islam, barang yang sudah dinyatakan haram tidak
mempunyai nilai ekonomi, karena sifatnya yang tidak boleh diperjual belikan.
Berkaitan dengan aturan pertama tentang larangan berlebih-lebihan, maka barang
halal pun tidak dapat dikonsumsi sebanyak yang kita inginkan. Harus dibatasi
sebatas cukupnya keperluan, demi menghindari kemewahan, berlebih-lebihan dan
kemubaziran. [1]
3. Permintaan
menurut Ekonomi Konvensional
Konsep
permintaan merupakan hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan harga
berbagai tingkat harga. Hukum permintaan (law of demand) menerangkan
bahwa dalam keadaan hal lain tetap (cateris paribus) apabila harga naik,
maka permintaan terhadap suatu barang akan berkurang, dan sebaliknya apabila
harga turun, maka permintaan terhadap suatu barang akan meningkat.
Perubahan
pada tingkat harga akan memindahkan titik permintaan dalam suatu kurva
permintaan, sedangkan perubahan pada faktor selain harga (misalnya pendapatan)
akan menggeser kurva permintaan.
Permintaan
seseorang atau sesuatus masyarakat kepada sesuatu barang ditentukan oleh banyak
factor. Diantara factor-faktor yang terpenting adalah seperti yang dinyatakan
dibawah ini:
a) Harga
barang itu sendiri
b) Harga
barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut
c) Pendapatan
rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat
d) Corak
distribusi pendapatan dalam masyarakat
e) Cita
rasa masyarakat
f) Jumlah
penduduk
g) Ramalan
mengenai keadaan dimasa yang akan datang.
Sangat sukar
secara sekaligus menganalisis pengaruh berbagai faKtor tersebut terhadap
permintaan suatu barang. Oleh sebab itu, dalam membicarakan teori permintaan,
ahli ekonomi membuat analisis yang lebih sederhana. Dalam analisis ekonomi
dianggap bahwa permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh tingkat
harganya. Oleh sebab itu, dalam teori permintaan terutama dianalisis
adalah hubungan antara jumlah permintaan suatu barang dengan harga barang
tersebut.[2]
4. Permintaan
Menurut Ekonomi Islam
Menurut
Ibnu Taimiyyah, permintaan suatu barang adalah hasrat terhadap sesuatu,
yang digambarkan dengan istilah raghbah fil al-syai. Diartikan juga
sebagai jumlah barang yang diminta. Secara garis besar, permintaan dalam
ekonomi islam sama dengan ekonomi konvensional, namun ada prinsip-prinsip
tertentu yang harus diperhatikan oleh individu muslim dalam keinginannya.
Islam
mengharuskan orang untuk mengkonsumsi barang yang halal dan thayyib. Aturan
islam melarang seorang muslim memakan barang yang haram, kecuali dalam
keadaan darurat dimana apabila barang tersebut tidak dimakan, maka akan
berpengaruh terhadap nya muslim tersebut. Di saat darurat seorang muslim
dibolehkan mengkonsumsi barang haram secukupnya.
Selain
itu, dalam ajaran islam, orang yang mempunyai uang banyak tidak serta merta
diperbolehkan untuk membelanjakan uangnya untuk membeli apa saja dan dalam
jumlah berapapun yang diinginkannya. Batasan anggaran (budget constrain) belum
cukup dalam membatasi konsumsi. Batasan lain yang harus diperhatikan adalah
bahwa seorang muslim tidak berlebihan (israf), dan harus mengutamakan
kebaikan (maslahah).
Islam
tidak menganjurkan permintaan terhadap suatu barang dengan tujuan kemegahan,
kemewahan dan kemubadziran. Bahkan islam memerintahkan bagi yang sudah mencapai
nisab, untuk menyisihkan dari anggarannya untuk membayar zakat, infak dan
shadaqah.
Ibnu
Taimiyyah (1263-1328 M) dalam kitab Majmu’ Fatawa menjelaskan,
bahwa hal-hal yang mempengaruhi terhadap permintaan suatu barang antara lain:
1) Keinginan
atau selera masyarakat (Raghbah) terhadap berbagai jenis barang yang
berbeda selalu berubah-ubah. Di mana
ketika masyarakat telah memiliki selera terhadap suatu barang maka hal ini akan
mempengaruhi jumlah permintaan terhadap barang tersebut.
2) Jumlah
para peminat (Tullab) terhadap suatu barang. Jika jumlah masyarakat yang
menginginkan suatu barang semakin banyak, maka harga barang tersebut akan
semakin meningkat. Dalam hal ini dapat disamakan dengan jumlah penduduk, di
mana semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak jumlah para peminat
terhadap suatu barang.
3) Kualitas
pembeli (Al-Mu’awid). Di mana tingkat pendapatan merupakan salah satu
ciri kualitas pembeli yang baik. Semakin besar tingkat pendapatan masyarakat,
maka kualitas masyarakat untuk membeli suatu barang akan naik.
4) Lemah
atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang. Apabila kebutuhan terhadap suatu
barang tinggi, maka permintaan terhadap barang tersebut tinggi.
5) Cara
pembayaran yang dilakukan, tunai atau angsuran. Apabila pembayaran dilakukan
dengan tunai, maka permintaan tinggi.
6) Besarnya
biaya transaksi. Apabila biaya transaksi dari suatu barang rendah, maka besar
permintaan meningkat.
a. Keadaan
Darurat tidak Optimal
Dalam
konsep Islam, yang haram telah jelas dan begitu pula yang halal telah jelas. Secara
logika ekonomi kita telah menjelaskan bahwa bila kita dihadapkan kepada dua
pilihan, yaitu barang halal dan barang haram, optimal solution adalah
corner solution, yaitu mengalokasikan seluruh pendapatan kita untuk
mengonsumsi barang yang halal.
Sekarang
bayangkanlah keadaan hipotesis yang diambil dari kisah nyata di tahun 1970 an.
Sebuah pesawatterbang yang penuh dengan penumpang jatuh di tengah gunung salju.
Setelah bertahan beberapa hari tanpa persediaan yang cukup, tidak adanya hewan
atau tumbuhan yang dapat dimakan, dan dinginnya cuaca, beberapa diantara
penumpang meninggal. Bagi mereka yang hidup pilihannya banyak, yaitu terus
bertahan sambil mengharapkan agar tim penyelamat segera tiba di tempatm, atau
memakan daging penumpang yang meninggal untuk bertahan hidup. Memakan bangkai
manusia jelas haram, namun bila pilihannya anatara memakan yang haram atau kita
akan binasa, maka islam memberikan kelonggaran untuk dapat mengonsumsi barang
haram sekadarnya untuk bertahan hidup.
Maka
setiap keadaan darurat, yaitu keadaan yang secara terpaksa harus mengonsumsi
barang haram, pastilah bukan corner solution oleh karenanya bukan optimal
solution. Keadaan darurat selalu bukan keadaan optimal,
5. Perbedaan
Teori Permintaan Konvensional dengan Permintaan Islami
Definisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi
terhadap permintaan, antara permintaan konvensional dan islam mempunyai
kesamaan. Ini dikarenakan bahwa keduanya merupakan hasil dari penelitian
kenyataan dilapangan (empiris) dari tiap-tiap unit ekonomi.
Namun
terdapat perbedaan yang mendasar di antara keduanya, diantaranya :
a) Sumber
hukum
Perbedaan
utama antara kedua teori tersebut tentunya adalah mengenai sumber hukum dan
adanya batasan syariah dalam teori permintaan Islami. Permintaan Islam
berprinsip pada entitas utamanya yaitu Islam sebagai pedoman hidup yang
langsung dibimbing oleh Allah SWT. Permintaan Islam secara jelas mengakui
bahwa sumber ilmu tidak hanya berasal dari pengalaman berupa data-data yang
kemudian mengkristal menjadi teori-teori, tapi juga berasal dari firman-firman
Tuhan (revelation), yang menggambarkan bahwa ekonomi Islam didominasi
oleh variabel keyakinan religi dalam mekanisme sistemnya.
Sementara
itu dalam ekonomi konvensional filosofi dasarnya terfokus pada tujuan
keuntungan dan materialisme. Hal ini wajar saja karena sumber inspirasi ekonomi
konvensional adalah akal manusia yang tergambar pada daya kreatifitas, daya
olah informasi dan imajinasi manusia. Padahal akal manusia merupakan ciptaan
Tuhan, dan memiliki keterbatasan bila dibandingkan dengan kemampuan
b) Konsep
permintaan
Konsep
permintaan dalam Islam menilai suatu komoditi tidak semuanya bisa untuk
dikonsumsi maupun digunakan, dibedakan antara yang halal maupun yang haram.
Allah telah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 87, 88. Oleh karenanya dalam
teori permintaan Islami membahas permintaan barang halal, barang haram, dan
hubungan antara keduanya. Sedangkan dalam permintaan konvensional, semua
komoditi dinilai sama, bisa dikonsumsi atau digunakan.
c) Motif
permintaan
Dalam motif
permintaan Islam menekankan pada tingkat kebutuhan konsumen terhadap barang
tersebut sedangkan motif permintaan konvensional lebih didominasi oleh
nilai-nilai kepuasan (interest). Konvensional menilai bahwa egoisme merupakan
nilai yang konsisten dalam mempengaruhi seluruh aktivitas manusia.
d) Tujuan
Permintaan
Islam bertujuan mendapatkan kesejahteraan atau kemenangan akhirat (falah)
sebagai turunan dari keyakinan bahwa ada kehidupan yang abadi setelah kematian
yaitu kehidupan akhirat, sehingga anggaran yang ada harus disisihkan sebagai
bekal untukkehidupan akhirat. Sedangkan dalam ekonomi konvensional hal ini
tidak ada.
BABA III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas pemakalah mengambil kesimpulan bahwa teori permintaan Islam
lebih baik dari pada teori permintaan konvensianal, karena teori permintaan
islam lebih rasional dengan mengaitkan variabel-variabel moral, seperti
kesederhanaan, keadilan, sikap mendahulukan oranglain. Dimana dalam teori
permintaan konvensional kita tidak menemukan ini. Selain itu juga dikarenakan
teori permintaan islam bersumber dari Al-Qur’an.
2. Saran
Pemakalah
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak terdapat kesalahan, oleh sebab itu saran dari Ibu dosen selaku
pembimbing dalam matakuliah ini sanagat kami harapkan, untuk bisa dijadikan
sebagai pembelajaran dalam pembuatan makalah diSkemudian hari.
[1] Mustafa Edwin
Nasution, dkk.Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam.(Jakarta:Kencana,2007).
Hal. 85-89
[2] Sadono Sukirno.Mikro
Ekonomi:Teori Pengantar, Edisi Ketiga. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005). Hal. 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar