Sabtu, 30 November 2013

Hadist tentang Wakaf

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia diciptakan selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia mempunyai berbagai macam hak dan kewajiban. Begitu pula sebagai makhluk sosial, manusia hendaknya dapat menjaga hubungan baik dengan sesama, menumbuhkan rasa kepedulian sosial serta rasa tolong menolong. Karena dalam kehidupan, manusia selalu membutuhkan bantuan dari orang lain.
Selain itu, manusia diciptakan dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda dan saling melengkapi. Oleh karena itu, dalam Islam dianjurkan untuk melakukan wakaf sebagai salah satu bentuk taqarrub kepada Allah dalam rangka mempersempit kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin
Islam telah mengatur hal-hal tersebut, baik dalam syarat dan rukun maupun dalam pelaksanaannya. Namun dalam kenyataannya masyarakat kita banyak yang belum mengetahui hal tersebut dan melakukan wakaf sesuai dengan pemahaman mereka. Sebagai umat Islam, kita hendaknya mengetahui dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan al-Qur’an dan hadist, oleh karena itu pengetahuan akan wakaf sangat diperlukan sebelum kita mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
B.     Rumusan Masalah
1.      Hadist
2.      Arti Kata Perkata
3.      Biografi Perawi
4.      Penjelasan
a.       Pengertian wakaf
b.      Rukun dan syarat wakaf
c.       Macam-macam wakaf
d.      Menjual wakaf
e.       Hikmah wakaf
BAB II
PEMBAHASAN
WAKAF
A.    Hadis
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أصَا بَ عُمَرَ أرْضًا بِخَيْبَرَ فَأتَى النَبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنِّي أصَبْتُ أرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قُطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَر أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُورَثُ  قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَر فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرَّقَابَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَبْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيْهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوَّلٍ فِيْهِ وَفِي لَفِظٍ : غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ (رَوَهُ الْبُخَرِ وَمُسْلِمُ)
Dari Abdullah bin Umar, dia berkata, Umar mendapatkan bagian tanah di Khaibar, lalu dia menemui Nabi SAW untuk meminta pendapat tentang tanah itu. Dia berkata, ‘wahai Rasululllah, sesungguhnya aku mendapat bagian tanah di Khaibar, dan aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga dari tanah ini. Maka apa yang engkau perintahkan kepadaku tentang tanah itu?’ Beliau menjawab, ‘jika engkau menghendaki, maka engkau dapat menahan tanahnya dan engkau dapat menshadaqahkan hasilnya’. Abdullah bin Umar berkata, ‘Maka Umar menshadaqah kan hasilnya, hanya saja tanahnya tidak dijual atau diwariskan’. Dia berkata, ‘Maka Umar menshadaqahkan hasilnya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak wanita, di jalan Allah, orang dalam perjalanan, orang lemah, dan tidak ada salahnya bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya secara ma’ruf, atau untuk memberi makan teman, selagi tidak mengambil secara berlebihan. Dalam suatu lafazh disebutkan, ‘Selagi bukan untuk ditumpuk’.”[1]



B.     Arti Kata Perkata
 أصَبْتُ          = Aku mendapat                               
 تَصَدَّقْتَ        = engkau menshadaqahkannya
أرْضًا           = tanah                                               
يُبَاعُ             = dijual                                    
مَالًا             = harta                                                
يُورَثُ          = diwariskan                               
حَبَسْتَ          = engkau menahan                              
الْفُقَرَاءِ           = orang-orang fakir                
الْقُرْبَى           = kerabat                                             
الرَّقَابِ          = memerdekakan                   
وَفِي سَبِيْلِ اللهِ  = di jalan Allah                             
وَبْنِ السَّبِيْلِ  = orang dalam perjalana               
الضَّيْفِ       = orang lemah                                   
جُنَاح          = salah                                        
يَأْكُلَ           = memakan                                         
يُطْعِمَ           = memberi makan                  
مُتَمَوَّلٍ         = berlebihan                                       
مُتَأَثِّلٍ          = ditumpuk     
           
C.    Biografi Perawi
Abdullah bin Umar atau biasa disebut juga dengan “Ibn Umar” (anak Umar bin al-Khaththab) lahir pada tahun 10 sebelum hijriah, setelah peristiwa pengangkatan Rasul SAW dan meninggal pada tahun 74 hijriah. Ia masuk Islam bersama ayahnya pada usia 10 tahun, dan termasuk salah seorang dari empat sahabat yang mendapat gelar “Abdullah”. Menurut Malik bin Anas dan Ibn Syihab az-Zuhri, ia mengetahui sepenuhnya berbagai urusan yang dihadapi Rasul SAW dan para sahabatnya.
Dalam kehidupan sehari-harinya menurut pandangan para ulama, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, bahwa pribadi Ibn Umar mencerminkan ia seorang ulama yang hanya mengharapkan ridha Allah SWT semata, sebagaimana dikatakan Ibn Mas’ud, Jabir, dan Ibn al-Musayyab. Menurut Ibn Syihab az-Zuhri, dikalangan para tabi’in tidak pernah ada seorang pun yang berpaling dari pandangan-pandangannya.
Hadis-hadis yang diterimanya, selain langsung dari Rasul SAW, Ia juga menerima dari para sahabat lainnya, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, A’isyah, Hafshah (saudaranya), dan Abdullah bin Mas’ud. Para tabi’in yang meriwayatkan hadis daripadanya banyak sekali. Di antaranya, ialah Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan al-Basri, Ibn Sirin, Nafi’, Mujahid, Thawus, dan Ikrimah. Dalam periwayatan hadis di kalangan para sahabat ia menduduki ranking kedua dengan jumlah hadis yang diriwayatkannya, sebanyak 2.630 hadis.
Di antara silsilah sanad yang paling shahih, yang sampai kepada Abdullah bin Umar, ialah melalui Malik bin Anas dari Nafi’. Sedang yang paling lemah, ialah melalui Muhammad bin Abdullah bin al-Qasim dari ayahnya kemudian dari kakeknya. Disamping ia menghafal hadis-hadis yang diterimanya, ia juga menuliskannya dalam beberapa risalah-nya. Hal ini diantaranya diketahui oleh Nafi’. Di antara hadis-hadis yang diriwayatkannya ada juga yang ditulis oleh para ulama yang menerimanya, seperti Sa’id bin Jubair, Abd al-Aziz bin Marwan, Abd al-Malik bin Marwan, dan Nafi’ (maula­-nya).[2]
D.    Penjelasan
1.      Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), al-man’u (mencegah).[3] Wakaf atau dalam bahasa Arab diistilahkan dengan wakaf secara gramatikal berarti “menahan”. Sedangkan menurut istilah syara’ perkataan wakaf berarti “menahan harta dan memberikan manfaatnya pada jaln Allah SWT.
Syafi’iyah  mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa member manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah.[4]

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1997 tentang Perwakafan Tanah Milik (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3017) dalam pasal 1 ayat 1 dikemukakan bahwa: “wakaf adalah perbuatan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah milik (Peraturan Pemerintah ini memang khusus mengatur perwakafan tanah milik) dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari rumusan-rumusan pengertian yang dikemukakan diatas dapatlah ditemukan bahwa wakaf tersebut adalah merupakan suatu tindakan/perbuatan hukum berupa memisahkan dari harta kekayaan, dan harta yang dipisahkan tersebut dilembagakan (menjadi harta yang berdiri sendiri) dan tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan pewakaf serta digunakan untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya pada jalan Allah SWT.[5]
2.      Rukun dan Syarat Wakaf
Adapun yang menyangkut rukun wakaf dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Yang berwakaf
Adapun yang menjadi syarat pokok orang yang berwakaf adalah:
1)      Berhak berbuat kebaikan
2)      Atas kehendak sendiri
Berarti orang yang berwakaf haruslah orang yang berhak untuk melakukan sesuatu perbuatan, dengan kata lain orang yang cakap bertindak menurut hukum, yaitu orang yang dewasa dan sehat akalnya serta oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum (misalnya orang gila).
H. Sulaiman Rasyid menafsirkan “berhak berbuat kebaikan” tersebut, juga dapat dilakukan oleh orang di luar Islam, dengan demikian orang di luar agama Islam pun (non Islam) juga dapat memberikan wakaf.
Sedangkan yang dimaksud dengan “kehendak sendiri”, bahwa seseorang tidak dapat dipaksa agar dia mewakafkan harta miliknya. Dengan demikian orang yang dipaksa untuk melakukan wakaf adlah tidak sah, karena tidak memenuhi syarat.
b.      Ada obyek yang diwakafkan
Obyek atau benda yang diwakafkan tersebut mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu, atau dengan kata lain tidak semua benda dapat diwakafkan. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1)      Kekal zatnya; maksudnya barang yang diwakafkan tersebut tidak habis sekali pakai, kalaupun benda tersebut diambil manfaatnya, benda tersebut tidak mengalami kerusakan.
2)      Benda yang diwakafkan merupakan milik atau kepunyaan orang yang mewakafkan.
c.       Penerima wakaf
Penerima wakaf hendaklah orang yang sudah dapat melakukan perbuatan hukum, dengan kata lain dewasa, berakal, dan tidak terhalang oleh hukum untuk melakukan suatu perbuatan hukum
d.      Lafaz
Adapun yang dimaksud dengan lafaz adalah ucapan dari orang yang berwakaf bahwa dia mewakafkan untuk kepentingan tertentu. Misalnya; saya   mewakafkan tanah ini untuk kepentingan Mesjid. Apabila sudah dilafazkan seperti itu maka tanah tersebut hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan pembangunan Mesjid, atau dengn kata lain peruntukannya tidak dapatdialihkan lagi.[6]
3.      Macam-macam Wakaf
Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian:
a.       Wakaf ahli (khusus)
Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus. Maksud wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain. Misalnya, seseorang mewakafkan buku-buku yang ada diperpustakaan pribadinya untuk turunannya yang mampu menggunakan.
Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menuikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Masalah yang mungkin akan timbul dalm wakaf in I apabila turunan atu orang-orang yang ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf, mungkin juga yang disebut atau yang ditunjuk untuk memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah. Bagaimana nasib harta wakaf itu?
Bila terjadi hal-hal tersebut, dikembalikan pada syarat umum, yaitu wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu. Dengan demikian, meskipun orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah, buku-buku tersebut tetap berkedudukan sebagai benda wakaf yang digunakan oleh keluarga yang lebih jauh atau bila tidak ada lagi digunakan oleh umum.
b.      Wakaf khairi (umum)
Wakaf khairi ialah wakaf yang sjak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang benar-benar sejalan dengan amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal dunia, selama harta masih dapat diambil manfaatnya.[7]
4.      Menjual Wakaf
Tujuan wakaf hanya untuk mengambil manfaat, benda asalnya masih tetap tidak boleh dijual, diberikan atau dipusakakan. Tetapi apabila benda tersebut, tidak bermanfaat atau kurang bermanfaat atau mengganggu jalan, maka timbul beberapa pendapat.
Menurut pendapat mazhab Ahmad bin Hanbali, apabila manfaat wakaf tidak dapt digunakan, wakaf tersebut boleh dijual dan uangnya dibelikan kepada gantinya. Demikian juga mengganti mesjid atau merubahnya juga memindahkan mesjid dari satu tempat ke tempat lain atau menjual mesjid, uangnya dibelikan untuk membangun mesjid di tempat lain. Hal ini berdasarkan perbuatan Umar bin Khattab r.a; yang telah mengganti mesjid Kuofah yang lama dengan mesjid yang tempatnya pun di pindahkan, karena  tempat yang lam telah menjadi pasar.
Syekh Ibnu Taimiyah berkata; “Sesungguhnya yang menjadi pokok disini untuk menjaga kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan. Allah SWT telah menyuruh Rasul-Rasul-Nya untuk menyempurnakan kemaslahatan dan melnyapkan kerusakan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
tA$s%ur…. 4ÓyqãB ÏmŠÅzL{ šcr㍻yd ÓÍ_øÿè=÷z$# Îû ÍGöqs% ôxÎ=ô¹r&ur Ÿwur ôìÎ6­Gs? Ÿ@Î6y tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÊÍËÈ  
Artinya: “Kata Musa as kepada saudaranya Harun. Hendaklah engkau gantikan saya untuk menjaga kaum saya dan jalankanlah kemaslahatan untuk mereka janganlah sekali-kali engkau mengikuti orang-orang yang merusak ". (Q.S Al-A’raf : 142)[8]
5.      Hikmah Wakaf
Jika kita menggali syari’at Islam, akan ditemukan bahwa tujuan syari’at  Islam adalah untuk manusia.wakaf itu sendiri termasuk dalam golongan sedekah yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pemahaman Islam terhadap wakaf berpijak  pada pemahaman islam terhadap kepemilikan serta fungsi social harta kekayaan.
Islam berpedoman bahwa segala kepemilikan, termasuk harta, adalah milik Allah. Dia mengamanatkan kepada manusia untuk untuk mengelolanya. Islam memberikan keleluasaan manusia untuk mengelola hartanya dan mengeluarkan sebagai infak sesuai yang digariskan agama.
Islam menyediakan beragam cara untuk membelanjakan harta kekayaan dijalan kebaikan. Islam mengajarkan kepada manusia untuk saling tolong menolong dan menjaga interaksi antarmanusia. Wakaf , sebagai bentuk pembelanjaan harta dijalan kebajikan merupakan satu alternatif yang ditawarkan oleh Islam sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.[9]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), al-man’u (mencegah).
2.      Wakaf merupakan suatu tindakan/perbuatan hukum berupa memisahkan dari harta kekayaan, dan harta yang dipisahkan tersebut dilembagakan (menjadi harta yang berdiri sendiri) dan tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan pewakaf serta digunakan untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya pada jalan Allah SWT.
3.      Rukun wakaf : yang berwakaf, obyek akad, penerima wakaf dan lafazh.
4.      Wakaf terbagi dua yaitu : wakaf ahli (khusus) dan wakaf khairi (umum)
5.      Wakaf tidak boleh dijual, diberikan atau dipusakakan. Tetapi apabila benda tersebut, tidak bermanfaat atau kurang bermanfaat atau mengganggu jalan, maka boleh dijual tetapi harus diganti.

B.     Saran
Pemakalah menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih terdapat kekurangan, oleh sebab itu, pemakalah sangat membutuhkan saran dari pembaca, terutama dari Bapak Dosen selaku pembimbing dalam mata kuliah ini, untuk dijadikan acuan dalam pembuatan makalah di kemudian hari.




[1] Mardani,Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah.(Jakarta: Rajawali Pers.2011). Hal. 154-155
[2] Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis.(Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama.2001). Hal. 199-200
[3] Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah.(Jakarta: PT. Rajawali Pers.2011) Hal. 239
[4] Andri Soemitra,Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.(Jakarta:Kencana.2010). Hal. 434
[5] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis,Hukum Perjanjian dalam Islam.(Jakarta: Sinar Grafika.2004) Hal. 104
[6] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Op.cit. Hal.107-110
[7] Hendi Suhendi,Ibid. Hal. 244-245
[8] Ibrahim Lubis,Ekonomi Islam Suatu Pengantar II.(Jakarta Pusat: Kalam Mulia.1995). Hal. 726-727
[9] Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Hukum Wakaf.(Jakarta:IIMaN.2004). Hal. 82-83

Salam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-untungan). Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa: Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut. Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya: Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga.

B.     Rumusan masalah
1.      Pengertian salam
2.      Landasan syariah
3.      Rukun dan syarat salam
4.      Perbedaan salam dengan ijon
5.      Aplikasi dalam perbankan
6.      Tujuan pembiayaan salam






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Salam
Salam berasal dari kata As-salaf yang artinya pendahuluan, karena pemesan barang menyerahkan uangnya dimuka. Para fuqahah menamainya al-mahawi’ij (barang-barang mendesak) karena ia sejenis jual beli yang dilakukan mendesak walauoun barang yang dioerjualbelikan tidak ada di tempat. “mendesak” dilihat dari sisi pembeli karena ia sangat membutuhkan barang tersebut di kemudian hari, sementara dari sisi penjual, ia sangat membutuhkan uang tersebut.[1]
Dalam praktik perbankan, ketika barang yang telah diserahkan kepada bank, bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri dengan secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah dengan keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan dan jangka waktu pembayaran.[2]
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan telah disepakati dan tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian  komoditas pertanian pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan. Landasan syari’ah salam adalah Fatwa DSN MUI NO.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam.[3]

 Salam dalam praktek bank syariah yaitu suatu jenis jual beli dimana pembayaran atas pembelian suatu barang dilakukan da awal sedangkan barang yang akan dibeli diserahkan kemudian pada waktu yang telah disepakati di masa depan. Dalam aplikasi perbankan dikenal istilah salam pararel yaitu jual beli yang melibatkan tiga pihak antara lain pembeli, bank dan supplier  (pemasok).[4]
B.     Landasan Syariah
1.      Al-Qur’an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ  ……(٢٨٢)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…..” (al-Baqarah: 282)

2.      Hadits
مَنْ اَسْلَفَ فِيْ شَيْءٍ َففِيْ كَيْلٍ مَعْلَومٍ َوَوْزنٍ مَعْلُوْمٍ اِلىَ اَجَلٍ مَعْلُوْمٍاحرجه الاءمة السنة(
Artinya: “barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui
3.      Fatwa DSN MUI NO.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam.

C.     Rukun dan Syarat Salam
1.      Rukun Ba’i As-Salam
Pelaksanaan ba’i as-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini.
a.       Muslam( المسلم ) atau pembeli
b.      Muslam ilaih (المسلم اليه ) atau penjual
c.       Modal atau uang
d.      Muslam fiihi (المسلم فيه ) atau barang
e.       Sighat (الصيغة ) atau ucapan

2.      Syarat Ba’i as-Salam  
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, ba’I as-salm juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan dua diantara rukun-rukun terpenting, yaitu modal dan barang.
a)      Modal Transaksi Ba’I as-Salam
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam modal ba’I as-salam adalah sebagai berikut:
Ø  Modal Harus DiketahuiBarang yang akan disuplai harus diketahui jenis,  kualitas, dan jumlahnya. Hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus dalam bentuk uang tunai.
Ø  Penerimaan Pembayaran Salam Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak. Hal tersebut dimaksudkan agar pembayaran yang diberikan oleh al-muslam (pembeli) tidak dijadikan sebagai utang penjual. Lebih khusus lagi, pembayaran salm tidak bisa dalm bentuk pembebasan utang yang harus dibayar dari muslam ilaih (penjual). Hal ini untuk mencegah praktek riba melalui mekanisme salam.
b)      Al-Muslam Fiihi (Barang)
Di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-muslam fiihi atau barang yang ditransaksikan dalam ba’i as-salam adalah sebagai berikut:
1)      Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
2)      Harus bias diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebutr (misalnya beras atau kain), tentang klasifikasi kualitas (misalnya kualitas utama, kelas dua, atau eks ekspor), serta mengenai jumlahnya.
3)      Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
4)      Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi madzhab Syafi’i membolehkan penyerahan segera.
5)      Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang.
6)      Tempat penyerahan. Pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk tempat yang disepakati dimana barang harus diserahkan. Jika kedua pihak yang berkontrak tidak menentukan tempat pengiriman, barang harus dikirim ke tempat yang menjadi kebiasaan, misalnya gudang si penjual atau bagian pembelian si pembeli.
7)      Penggantian muslam fiihi dengan barang lain. Para ulama melarang penggantian muslam fiihi dengan barang lainnya. Penukaran atau penggantian barang as-salam ini tidak diperkenankan, karena meskipun belum diserahkan, barang tersebut tidak lagi milik si muslam alaih, tetapi sudah menjadi milik muslam (fidz-dzimah). Bila barang tersebut diganti dengan barang yang memilki spesifikasi dan kualitas yang sama. meskipun sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya. Hal demikian tidak dianggap sebagai jual beli, melainkan penyerahan unit yang lain untuk barang yang sama.[5]

D.    Aplikasi Salam di Perbankan Syariah
Ba’i as-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena barang yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebutsebagai simpanan atau inventory, dilakukanlah akad ba’i as-salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada bulog, pedagang pasar induk, atau grosir. Inilah yang dalam perbankan islam dikenal sebagai salam pararel.
Ba’i as-salam juga dapat di aplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal itu berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut. Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian mebayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.
Contoh kasus:
Seorang petani yang memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan sebesar Rp. 5.000.000,00 kepada Bank syariah. Pembiayaan tersebut sudah mencakup ongkos bibit dan upah pekerja. Ia berencana menanami sawahnya dengan bibit IR36 yang bila telah digiling menjadi beras dijual di pasar dengan harga Rp.2.000,00/kg. penghasilan sawah biasanya berjumlah 4 ton beras per hektar. Ia akan mengantarkan beras ini selama 3 bulan.

 




                                                                                                                     
 



 Skema Proses Akad Salam[6]
Jawaban
Jumlah pembiayaan yang diajukan oleh petani sebesar Rp.5000.000,00, sedangkan harga beras jenis IR36 dipasar Rp.2.000,00/kg. karenanya, bank bisa membeli dari petani sebanyak 2,5 ton (Rp.5.000.000,00 dibagi Rp.2.000/kg) beras tersebut bisa dijual kepada pembeli berikutnya. Setelah melalui negosiasi, bank menjualnya sebesar Rp.2.400,00/kg, yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp.6.000.000,00 (bila dihitung secara umum, bank mendapat keuntungan jual beli, sebesar 20% margin)
Pada bank-bank Islam yang sudah mapan, seperti di Sudan, Bahrain, dan Negara-negara Timur Tengah lainnya, transaksi dilakukan dengan system salam tunggal. Konsekuensinya bank harus memiliki inventory yang dikelola secara professional agar tidak mengalami kerugian. Bank juga harus menggunakan gudang tempat penyimpanan (warehouse) barang, baik milik sendiri maupun menyewa dari pihak lain. Jadi, dalam hal ini bank bertindak sebagai pedagang yang terjun langsung dalam persainganbisnis komoditi.
Sedangkan Negara-negara yang masih memegang paradigma bank sebagai intermediary institution, dimana bank tidak melakukan transaksi perdaganagn secara langsung, maka mekanisme yang memungkinkan adalah salam parallel. Artinya bank melakukan transaksi salam dengan produsen (salam pertama) jika bank sudah memiliki nasabah sebagai calon pembeli (salam kedua). Bank, dalam hal ini tidak perlu mengoperasikan gudang karena pengiriman barang bisa dilakukan langsung dari produsen kepada pembeli. Dalam praktiknya, bisa saja transaksi antara bank dengan calon pembeli (pemesan) terjadi  terlebih dahulu (salam pertama), kemudian bank mencari produsen untuk memenuhi pesanan tersebut (salam kedua).[7]
E.     Perbedaan Salam dengan Ijon
Banyak orang menyamakan ba’i as-salam dengan ijon, padahal terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak di ukur atau di timbang secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli, sangat bergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah. Adapun transaksi ba’i as-salam mengharuskan adanya dua hal berikut:
1.      Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibni Abbas, “Barang siapa melakukan transaksi salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula.
2.      Adanya keridhoan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama dalam menyepakati harga.
Untuk memastikan adanya harga yang “fair” ini, pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan pembinaan.[8]
F.     Tujuan Pembiayaan Salam
Pembiayaan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian, perkenunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada umumnya membutuhkan dana untuk modal awal dalam melaksanakan aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan dana pada saat akad. Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar kembali. Dengan melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil manfaat tersebut.[9]
Transaksi salam biasanya digunakan pada industri pertanian. Bahkan, akad salam dapat digunakan untuk membantu petani dengan tiga strategi pendekatan yang dilakukan pemerintah, antara lain sebagai berikut:
1.      Pemerintah membentuk perusahaan pembiayaan syariah, untuk sector pertanian secara khusus dalam bentuk BUMN nonbank. Perusahaan ini bertanggung jawab menyalurkan pembiayaan pada petani, dan kemudian menjual hasil pertanian yang didapat kepada publik atau pemerintah dengan kata lain memperluas peran Bulog, diman bulog difungsikan pula sebagai lembaga pembiayaan petani. Hal yang paling terpenting lembaga ini haruslah amanah.
2.      Pemerintak membentuk bank pertanian syariah. Namun, demikian yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara bank untuk menyimpan hasil pertanian, mengingat ia akan menerima dalam bentuk produk dari petani dan bukan dalam bentuk uang. Untuk itu, perlu ada modifikasi skema salam, dimana bank dapat menunjuk petani yang bersangkutan untuk menjualkan hasil pertaniannya kepasar, kemudian mengembalikan sejumlah uang kepada bank. Petani dapat diberikan komisi tambahan oleh bank karena telah bertindak sebagai agennya.
3.      Melalui penerbitan sukuk. Daerah-daerah surplus pangan dapat menerbitkan sukuk berbasis salam dan daerah-daerah yang kekurangan pangan dapat menginvestasikan dananya untuk membeli sukuk. Daerah surplus pangan akan memiliki modal tambahan, dan daerah minus pangan mendapat kepastia supply pangan.[10]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Salam berasal dari kata As-salaf yang artinya pendahuluan, karena pemesan barang menyerahkan uangnya dimuka.
2.      Salam dalam praktek bank syariah yaitu suatu jenis jual beli dimana pembayaran atas pembelian suatu barang dilakukan da awal sedangkan barang yang akan dibeli diserahkan kemudian pada waktu yang telah disepakati di masa depan.
3.      Ba’i as-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan.
4.      Pembiayaan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian, perkenunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada umumnya membutuhkan dana untuk modal awal dalam melaksanakan aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan dana pada saat akad. Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar kembali.

B.     Saran
Pemakalah menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan, untuk itu pemakalah sangat membutuhkan saran dari peserta diskusi, terutama dari Ibu Dosen pembimbing dalam mata kuliah ini, untuk perbaikan dalam pembuatan makalah di kemudian hari.



[1] Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syari’ah di Indonesia.(Jakarta:Salemba Empat.2009) hal. 196
[2] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta:RajaGrafindo Persada.2010) hal. 99
[3] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. (Jakarta:Kencana.2009) hal. 80.
[4] Ridwan Nurdin, Akad-Akad Fiqh pada Perbankan Syariah di Indonesia. (Banda Aceh: PeNa.2010) hal. 67
[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari teori ke praktik. (Jakarta: Gema Insani.2001). hal. 110
[6] Ascarya,Akad dan Produk Bank Syari’ah.(Jakarta: Rajawali Pers.2012). hal. 91
[7] Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. (Jakarta: Ghalia Indonesia.2009) hal. 128.
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hal. 102
[9] Ismail, Perbankan Syariah. (Jakarta:Kencana.2011). hal. 156
[10] Sri Nurhayati dan Wasilah, op.cit., hal. 197

Syarat Account Officer

Syarat Account Officer Ideal Seorang Account Officer (AO) adalah orang yang melakukan pemasaran dan penjualan kredit perbankan . d...