BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan berkembangnya
zaman, maka iptek dan imtek semakin berkembang. Pola pikir manusia pun semakin
maju, tetapi tanpa kita sadari prinsip-prinsip islam semakin kita enggan
dengannya. Padahal dalam melakukan muamalah sehari-hari kita sering dihadapkan
dengan permasalahan-permasalahan mengenai tanggungan (kafalah).
Agar kita dapat memahami bagaimana prinsip kafalah yang sesuai denagn
Syari’at. Maka kita perlu mengetahui beberapa hal yang berhubungan dengan
kafalah, diantaranya dasar hukum kafalah, rukun dan syarat kafalah, pelaksanaan
kafalah, dan lain-lain yang berhubungan dengan kafalah. Serta bagaimanakah
aplikasinya dalam perbankan syari’ah.
B. Rumusan Masalah
a.
Pengertian Kafalah
b.
Dasar Hukum Kafalah
c.
Rukun dan Syarat Kafalah
d.
Macam-Macam Kafalah
e.
Pelaksanan Kafalah
f.
Pembayaran Dhamin
g.
Hikmah dan Manfaat Kafalah
h.
Berakhirnya Akad Kafalah
i.
Contoh Kasus
BAB
II
PEMBAHASAN
KAFALAH
A. PENGERTIAN
Al-kafalah menurut bahasa berarti
al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan
al-kafalah atau al-dhaman sebagai mana dijelaskan oleh para ulama adalah
sebagai berikut.
1. Menurut
mazhab Hanafi al-kafalah memiliki dua pengertian, yang pertama arti al-kafalah
ialah : “menggabungkan suatu tanggungan kepada tanggungan yang lain dalam
penagihan, dengan jiwa, utang atat zat benda.”
Pengertian
al-kafalah yang kedua:
“menggabungkan
tanggungan
kepada tanggungan
yang lain dalam
pokok atau asal hutang”
2. Menurut
Mazhab Maliki al-kafalah ialah:
“orang
yang mempunyai mengerjakan hak dan tanggungan memberi beban serta bebannya sendirinya
yang disatukan,baik menangung pekerjaan yang sesuai atau (sama) maupun
pekerjaan yang berbeda.
3. Menurut
mazhab Hambali bahwa yang dimaksud al-kafalah adalah:
“iltizam
sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang
dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta atau
pemiliknya kepada orang yang mempunyai hak.”
4. Menurut
mazhab Syafi’i yang dimaksud dengan al-kafalah ialah;
“
akad yang menteapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan atau beban yang
lain atau menhadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak
menghadirkannya.”[1]
Sedangkan
pengertian al-kafalah dalam
perbankan Syariah yaitu sebagai berikut:
Al-kafalah
adalah pemberian garansi kepada nasabah untuk menjamin pelaksaan proyek dan
pemenuhan kewajiban tertentu oleh pihak yang dijamin dengan cara bank meminta
pihak yang dijamin untuk menyetorkan sejumlah dana sebagai setoran jaminan
dengan prinsip al-wadiah.[2]
Al-kafalah
merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung(kafil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajibanpihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan
tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab
orang lain sebagai penjamin.[3]
B. DASAR HUKUM AL-KAFALAH
1. Al-qur’an

Artinya
: “ ya’kub berkata aku tidak
membiarkannya pergi bersamamu sebelum kau memberikan janji yang tueguh atas nama allah bahwa kamu pasti membawanya
kembali kepadaku.” (yusuf : 66)[4]
$ygn=¬6s)tFsù $ygš/u‘ @Aqç7s)Î/ 9`|¡ym $ygtFt7/Rr&ur $·?$t6tR $YZ|¡ym $ygn=¤ÿx.ur $ƒÌx.y— ( $yJ¯=ä. Ÿ@yzyŠ $ygøŠn=tã $ƒÌx.y— z>#tósÏJø9$# y‰y`ur $ydy‰ZÏã $]%ø—Í‘ ( tA$s% ãLuqöyJ»tƒ 4’¯Tr& Å7s9 #x‹»yd ( ôMs9$s% uqèd ô`ÏB ωZÏã «!$# ( ¨bÎ) ©!$# ä-ã—ötƒ `tB âä!$t±o„ ÎŽötóÎ/ A>$|¡Ïm ÇÌÐÈ
Artinya : “ Maka Tuhannya menerimanya (sebagai
nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik
dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk
menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata:
"Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam
menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi
rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
Pada
ayat lain Allah swt. Berfirman:
(#qä9$s% ߉É)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy— ÇÐËÈ
Artinya : “ penyeru-penyeru itu berkata:
"Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnnya. Yusuf 72.
2. Sunnah
Rasulullah
SAW telah dihadapkan kepadanya mayat seoarang
laki-laki untuk di shalatkan. Rasululah SAW bertanya :”apakah ia mempunyai
warisan?”sahabat menjawab: “ tidak” rasulullah bertany alagi “ apakah ia
mempunyai hutang?”sahabat menjawab:” ya,sejumlah tiga dinar”. Rasulullah pun
menyuruh para sahabat untuk menyalatkannny (ttetapi beliau sendii tidak). Dalam
pada itu abu Qatadah berkata : “ saya menjamin hutangnya ya rasulullah” maka
rasulullah menyalatkan mayat tersebut.”(H.R Bukhari)[5]
Hadis tersebut menjelaskan
tentang utang seseorang yang telah meninggal dunia, yang kemudian ditanggung
oleh seorang sahabat, yaitu Abu Qatadah. Ini menunjukkan bahwa tanggungan
(kafalah) hukumnya dibolehkan[6]
C. RUKUN DAN SYARAT AL-KAFALAH
1. Rukun Kafalah
Menurut
ulama Hanafiah, rukun kafalah hanya satu yaitu ijab dan qabul. Akan tetapi , menurut ulama yang lain, rukun kafalah
ada lima, yaitu:
a. Shighat,
b.
Dhamin atau kafil
c.
Madhmun atau makful
lahu, yaitu pemilik hak
d.
Madhmun atau makful’anhu,
dan
e.
Madmun atau makful atu disebut juga makful bih.
2.
Syarat- syarat Kafalah
Syarat-syarat kafalah
berkaitan dengan rukun-rukun yang disebutkan di atas, yaitu syarat shighat,
syarat kafil, syarat makful lahu, syarat makful ‘anhu, dan syaratmakful bih.
a.Syarat shighat
Ulama-ulama Hanafiah tidak
memberikan syarat-syarat yang khusus untuk shighat (redaksi) ijab dan qabul
dalam kafalah. Menurut mereka shighat kafalah bisa dengan setiap lafal yang
mengandung arti tanggungan atau iltizam, seperti saya tanggung, saya jamin,saya
tanggung jawab. Syarat yang lain yang disepakati juga oleh para ulamabahwa
shighat tidak digantungkan dengan syarat yang tidak relevan dengan akad
kafalah, dan tidak dikaitkan dengan waktu. Contoh akad yang dikaitkan dengan
waktu.”saya jamin harta si fulan dalam waktu satu bulan”. Shighat macam ini
hukumnya tidak sah.
b. Syarat kafil (Dhamin)
·
Baligh. Tidak sah bagi seorang anak yang masih dibawah
umur untuk menanggung kepentingan orang lain. Syarat ini disepakati oleh para
fuqaha mazhab empat.
·
Berakal. Tidak sah kafalah yang dilakukan oleh orang
gila. Syarat ini juga disepakati oleh fuqaha mazhab empat.
·
Tidak mahzur a’laih karena boros. Apabila kafil
dinyatakan mahjur ‘alaiah karena sebab yang lain selain boros, maka kafalah-nya
hukumnya sah.
·
Kafil tidak berada dalam keadaan maradul maut (sakit
keras). Dalam keadaan ini maka kafalah-nya tidak sah dengan dua syarat, yaitu
a)
Ia mempunyai utang yang menghabiskan hartanya. Apabila
ia tidak punya utang yang menghabiskan hartanya, maka kafalah-nya tetap sah.
b)
Tidak ada tambahan harta yang baru setelah ia
meninggal. Apabila ada tambahan harta baru setelah ia meninggal maka
kafalah-nya hukumnya sah.
·
Tidak dipaksa.
Dengan demikiankafalh orang yang dipaksa hukumnya tidak sah.
·
Hanafiyah menambahkan syarat kafil harus orang
merdeka. Akan tetapi ini bukan syarat sah melainkan syarat nafadz.
c. Syarat Makful Lahu
Makful Lahu adalah orang
yang kepentingannya ditanggung, yaitu pemilik utang (shahib ad-dain). Syarat
untuk pemilik utang (makful lahu) adalah :
1.
Harus jelas (diketahui). Dengan demikian, tidak sah
menjamin seseorang yang ia (penjamin) tidak mengetahuinya. Akan tetapihanabilah
menyatakan syarat ini tidak perlu. Dengan demikian menurut Hanabilah penjamin
tidak perlu mengetahui makfullahu. Alasan Hanabilah antara lain tindakan Ali
dan Abu Qatadah yang menjamin orang yang yang makful lahu-nya tidak diketahui.
2.
Berakal. Tidak sah menjamin seseorang yang gila. Hal
tersebut dikarenakan dalam kafalah harus ada qabul (penerimaan) dan orang gila
qabul nya tidak sah.
d. Syarat Makful ‘Anhu
Makful anhu adalah al-mudin,
yaitu orang yang memiliki beban utang. Syarat untuk al-mudin adalah ia tidak
mahjur’alaiah karena boros. Menurut Hanabilah dan Syafi’iah ia (makful
anhu)tidak disyaratkan harus diketahui oleh penjamin. Alasan Hanabilah antara
lain tindakan Ali dan Abu Qatadah seperti yang telah dijelaskan diatas.
e.SyaratMakful atau MakfulBih
Makful atau makful bih
adalah objek kafalah, baik berupa barang, utang, orang, maupun pekerjaan yang
wajib dikerjakan oleh makful anhu.[7]
D. MACAM-MACAM AL-KAFALAH
Secara umum atau garis besar,
al-kafalah dibagi menjadi dua bagain, yaitu kafalah dengan jiwa (bi an –nafs) dan kafalah dengan
harta( bi al-mal).
Kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya
kemestian atau keharusan pada pihak penjamin untuk menghadirkan orang yang ia
tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makfullah).
1.
kafalah bi an-nafs
syarat-syarat kafalah bi an-nafs:
a.
Makful dan makful lahu harus diketahui.
b.
Makful harus setuju.
c.
Harus ada izin (persetujuan wali) spsbils mskful belum
mukallaf.
d.
Hak yang berkaitan dengan makful bih adalah hak adami
( manusia/ individu) bukan hak Allah.
Kafalah bi
an-nafs dibolehkan jika pertanggunagn itu menyangkut persoalan hak manusia.
Contoh: Rahmat
meminjam uang ke Bank Muamalat, tetapi Rahmat tidak punya Assets untuk sebagai
boroh, akhirnya pak lurah menjamin Rahmat, supaya Bank merasa yakin, karena
lurah tanggung jawab kepada masyarakatnya. Dengan akad saya yang menjamin
Rahmat.
2. Sedangkan
kafalah harta yaitu kewajiban yang
musti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran berupa harta. Kafalah
harta ada tiga macam:
1.
Kafalah bi
al-dain, yaitu kewajiban membayar hutang
yang menjadi beban orang lain, dalam hadis salamah bin Aqwa bahwa Nabi SAW
tidak mau menshalatkan mayat yang mempunyai kewajiban membayar hutang.
Contoh:” Bu Irma mempunyai utang Rp. 500.000,- di Toko
Jaya Abadi, utang ini akan dibayar Bu Irma 2 bln yang akan datang, tetapi belum
sempat 2 bln beliau sakit, akhirnya meninggal, dan disini anaknya menjamin
utang tersebut.
Dalam
kafalah
hutang disyaratkan sebagi berikut:
a) Hendaklah
nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transakisi jaminan.
b) Hendaklah
barang yang dijamin diketahui menurut mahzab syafiii dan Ibn Hazm bahwa
sesorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, sebab itu perbuatan
tersebut adalah gharar.
2. Kafalah
dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tetentu yang
ada di tangan orang lain.
Contoh: “ penyerahan barang terhadap pembayaran
didahulukan, berarti dalam hal ini penanggung menjamin hak si pembeli.
3. Kafalah
dengan ‘aib maksudnya bahwa barang yang di dapati berupa harta terjual dan
mendapt bahaya ( cacat) karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal
lainnya, maka ia ( pembawa barang) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada
penjual.
E. PELAKSANAAN AL-KAFALAH
Al-kafalah dapat dilaksanakn dengan
tiga bentuk, yaitu munjaz (tanjiz), muallaq (ta’liq) dan mu’aqqat ( tauqit).
·
Munjaz (tanjiz)
Dengan cara ini yaitu: adanya pernyataan dari pihak penanggua ( kafiil),
seperti: aku menjamin si Ahmad sekarang, aku jamin si Ahmad, aku tanggung si
Ahmad, atau aku tanggulangi.[8]
·
Mu’allaq
(ta’liq) adalah menjaminn sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu, seperti seseorang
berkata, “ jika kamu mengutangkan pada anakku, maka aku akan membayarnya” atau
“ jika kamu ditagih pada A maka aku yang akan membayarnya.”seperti firman Allah
: yusuf 72
(#qä9$s% ߉É)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy— ÇÐËÈ
Artinya: penyeru-penyeru itu berkata: "Kami
kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh
bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".

F. PEMBAYARAN DHAMIN
Apabila orang yang menjamin (dhamin) memenuhi kewajibannya dengan
membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali kepada madhmun ‘anhu apabila pembayaran itu
atas izinnya. Dalam hal ini para ulama bersepakat, namun mereka berbeda
pendapat apabila penjamin membayar atau menunaikanbeban orang yang ia jamin
tanpa izin orang yang dijamin bebannya. Menurut al-Syafi’i dan Abu Hanifah
bahwa membayar orang-orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah, dhamin tidak punya hak untuk
minta ganti rugi kepada orang yang ia jamin (madhmun ‘anhu). Menurut Mazhap Maliki, dhamin berhak menagih kembali kepada madhmun ‘anhu.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa dhamin tidak berhak menagih kembali
kepada madhmun ‘anhu maupun tidak.
Apabila madhmun ‘anhu ( orang yang
ditanggung) tidak ada, kafil (dhamin) berkewajiban menjamin dan tidak
dapat mengelak dari tuntunan kecuali dengan membayar atau orang yang
menguntungkan menyatakan bebas untuk kafil
dari utang makful lah ( orang yang
mengutangkan) adalah mem-fasakh-kan
akad kafalah, sekalipun makful ‘anhu dan kafil tidak rela.[9]
G. HIKMAH DAN MANFAAT KAFALAH
Dengan adanya kafalah pihak yang dijamin atau disebut juga
dengan madhmun anhu dapat menyelesaikan proyek atau usaha bisnisnya dengan
ditanggung pengerjaanya dan bisa selesai dengan tepat waktu atau efisien dengan
jaminan pihak ketiga yang menjamin pengerjaannya . Sedangkan dengan adanya
kafalah pihak yang terjamin atau dalam istilah fiqh mua’amalah disevbut sebagai
Madhmun lahu menerima jaminan oleh penjamin (dalam hal ini bank ) bahwa proyek
yang diselesaikan oleh nasabah tadi dapat selesai dengan tepat waktunya dan
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya . Karena kafalah merupakan
pengambil alihan resiko oleh bank apabila nasabah tadi di luar kesengajaan dan
kelalaian . dan keuntungan pun akan diterima oleh pihak bank sebagai pemberi
jaminan.
Adapun praktik bank dalam membumikan prinsip kafalah yang
sesuai dengan syariah islam bisa dilangsungkan dalam praktik bank garansi dan
Letter Of Credit . Praktik bank garansi bisa diberlangsungkan dengan cara bank
sebagai kafiil menerbitkan surat tanggungan kepada pemilik proyek atau usaha
dengan permintaan dari nasabah. Sehubungan dengan kontrak atau transaksi yang telah
disepakati sebelumnya antara bank , nasabah dan pemilik proyek. Namun apabila terjadi hal-hal yang
tak diinginkan seperti resiko di luar kesengajaan ataupun kelalaian
berdasarakan surat jaminan yang dikeluarkan oleh bank penjamin proyek maka
pihak ketiga / pemilik proyek dapat
mengajukan klaim kepada penerbit bank garansi tadi.
H.
BERAKHIRNYA AKAD KAFALAH
Apabila jenis kafalah bi al-ma, maka kafalah berakhir
dengan salah satu dari dua perkara:
1.
Harta telah diserahkan kepada pemilik hak (ad-dain)
atau dalam pengertian diserahkan, baik penyerahan tersebut oleh penjamin
(kafil) maupun oleh ashil atu makful ‘anhu.demikian pula kafalah berakhir
apabila pemilik hak menghibahkan hartanya kepada penjamin atau menyedekahkannya
kepada penjamin. Kafalah juga berakhir apabila pemilik hak meninggal dan
hartanya diwarisoleh kafil karena dengan dengan warisan ia memiliki apa yang
berada dalam tanggungannya.
2.
Utang telah dibebaskan atau dalam pengertian
dibebaskan. Apabila pemilik hak membebaskan penjamin (makful anhu)maka kafalah
menjadi berakhir. Hanya saja apabila ad-dain
membebaskan kafil (penjamin) maka ashil (makful anhu) belum bebas dari utang.
Sebaliknya, apabila ad-dain membebaskan al-ashil (makful anhu) maka penjamin
menjadi bebas, karena utang tersebut ada pada ashil bukan kafil. Demikian pula kafalah
berakhir dengan adanya perdamaian.
Apabila jenis kafalah-nya kafalah
bi an-nafs,maka kafalah berakhir karena tiga sebab sebagai berikut:
1.
Penyerahan diri orang yang dituntutdi tempatyang
memungkinkannya untuk dihadapkandi muka siding pengadilan.apabila penyerahan
dilakukan di lapangan atau tempat yang tidak mungkin terdaka dihadapkan dimuka
sidang maka kafil(penjamin) belum bebas karena tujuan penyerahan belum
terwujud.
2.
Pembebasan terhadap kafil oleh pemilik hak
darikewajiban kafalah bi an-nafs. Tetapi ashil (makful anhu) tiak bebas karena
pembebasannya termasuk juga makful anhu maka kedua-duanya bebas.
3.
Meninggalnya makful anhu. Apabila al-ashil meninggal dunia
maka kafalah menjadi berakhir dan kafil (penjamin) telah bebas dari tugas
kafalah bi an-nafs karena makful tidak mungkin untuk dihadirkan. Demikian pula
kafalah berakhir karena meninggalnya penjamin tetapi apabila makful lahu yang
meninggal maka kafalah bi an-nafs tidak gugur, dan kedudukannya digantikannya
oleh ahli waris atau pemegang wasiatnya.
Apabila jenis kafalah bi al-ain maka kafalah
dapat berakhir karena dua hal yaitu sebagai berikut:
1.
Penyerahan benda yang ditanggung (dijamin) apabila barangnya
masih ada, atau persamannya atau harganya apabila barangnya telah rusak.
2. Pembebasan kafil
dari tugas kafalah. Misalnya perkataan pemilik hak “ saya bebaskan engkau dari tugas kafalah” Demikian pula kafalah
dapat gugur (berakhir) karena pembahasan ashil (makful) dari kewajiban
menyerahkan barang yang ada padanya.[10]
I.
CONTOH KASUS
1.
kafalah bi an-nafs
Rahmat meminjam uang ke Bank Muamalat, tetapi Rahmat
tidak punya Assets untuk sebagai boroh, akhirnya pak lurah menjamin Rahmat,
supaya Bank merasa yakin, karena lurah tanggung jawab kepada masyarakatnya.
Dengan akad saya yang menjamin Rahmat.
2.
Kafalah bil-mal
Bu
Irma mempunyai utang 500.000,- di Toko Jaya Abadi, utang ini akan dibayar Bu
Irma 2 bln yang akan datang, tetapi belum sempat 2 bln beliau sakit, akhirnya
meninggal, dan disini anaknya menjamin utang tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
1.
Al-kafalah
menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan),
hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan).
2.
Dalam
perbankan, al-kafalah
adalah pemberian garansi kepada nasabah untuk menjamin pelaksaan proyek dan
pemenuhan kewajiban tertentu oleh pihak yang dijamin dengan cara bank meminta
pihak yang dijamin untuk menyetorkan sejumlah dana sebagai setoran jaminan
dengan prinsip al-wadiah.
3.
Kafalah terbagi dua yaitu kafalah bin-nafs dan kafalah
bil-maal
·
Kafalah bin-nafs yaitu adanya kemestian
atau keharusan pada pihak penjamin untuk menghadirkan orang yang ia tanggung
kepada yang ia janjikan tanggungan (makfullah).
·
Kafalah bil-maal yaitu kewajiban yang
musti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran berupa harta. Kafalah ini terbagi lagi kepada tiga yaitu: kafalah
bil al-dain, kafalah debgan penyerahan benda, dan kafalah dengan ai’b.
B.
SARAN
Pemakalah menyadari bahwa
penulisan makalh ini belum sempurna dan masih banyak kesalahan, untuk itu
pemakalah sangat mengharapkan saran dari Ibu dosen pembimbing dalam mata kuliah
ini,
[1]
Hendi suhendi,Fiqh Muamalah.(Jakarta : Raja Grafindo persada.2011). hal.
187-189.
[2]
Warkum sumitro. Asas-asas perbankan Islam
dan Lembaga-Lembaga terkait.(jakarta: Raja Grafindo Persada.1996) . hal. 41
[3]
Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah.(Jakarta:Gema Insani.
2001). Hal.123.
[4]
Karnaen Perwaatmadja. Apa
dan Bagaimana Bank Islam.( Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf. 1992). Hal.
[5] Sunarto
Zulkifli. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah.( jakarta: Zikrul
Hakim. 2003). Hal. 31-32
[6] Ahmad Wardi Muslich. Fiqh
Muamalat.(Jakarata: AMZAH. 2010).Hal.437.
[7] Ahmad Wardi Muslich. Op.Cit. hal. 438-440.
[8] Chairuman Pasaribu. Hukum Perjanjian Dalam Islam. ( Jakarta:
Sinar Grapika. 2004). Hlm.149
[9]
Hendi Suhendi. Op. Cit. Hal. 195-196
[10]
Ahmad Wardi Muslich. Op.Cit.
Hal.445-446.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar