Sabtu, 07 Desember 2013

Manajemen Likuiditas Bank Syariah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam pengembangan ekonomi sekarang ditemui banyak metode-metode dalam pengelolaan likuiditas pada lembaga keuangan. Baik itu bank maupun non bank. Pengaruh pengelolaan likuiditas dapat berpengaruh pada perkembangan lembaga tersebut. Seperti krisis di sektor keuangan yang terjadi saat ini telah salah satu dampak dari imbas ketidak becusanya lembaga dalam menangani masalah aliran sumber dananya. Dan pengarunya secara luas, terlihat pada perkembangan pasar surat-surat berharga, pada sektor perbankan dan lebih jauh lagi pada sektor riil.
Di sisi lain, di tengah ketatnya likuiditas global, Bank Indonesia memberikan insentif bagi dunia usaha dengan menurunkan angka Giro Wajib Minimum sehingga meningkatkan likuiditas di kalangan perbankan. Namun dengan Letter of Credit, dunia perbankan tampaknya masih berhati-hati dalam memanfaatkan longgarnya likuiditas tersebut.
Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa kebijakan otoritas moneter dan juga gejolak perekonomian global maupun nasional berpengaruh terhadap kebijakan internal kalangan perbankan dimana tujuannya adalah untuk menjaga kelangsungan hidup industri perbankan itu sendiri.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Likuiditas Bank Syariah
2.      Tarik Ulur Likuiditas dan Profitabilitas Bank Syariah
3.      Ciri-Ciri Bank yang Memiliki Likuiditas Sehat
4.      Instrumen Likuiditas Bank Syariah



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Likuiditas Perbankan Syari’ah
Pengertian likuiditas pada umumnya adalah mengenai posisi uang kas suatu perusahaan dan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban (membayar utang) yang jatuh tempo tepat pada waktunya.[1] Dimana fungsi dari likuiditas secara umum adalah untuk:
1.      Menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari.
2.      Mengatasi kebutuhan dana yang mendesak.
3.      Memuaskan permintaan nasabah akan pinjaman dan memberikan fleksibiltas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan.
Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas.
Apabila dikaitkan dengan lembaga bank, likuiditas berarti kemampuan bank setiap waktu dalam untuk membayar utang jangka pendeknya apabila tiba-tiba ditagih oleh nasabah atau pihak-pihak terkait. Jadi, yang dimaksud likuiditas disini adalah kemudahan untuk mengubah asset menjadi uang tunai dari masing-masing bank bersangkutan.
Dalam kegiatan operasional, bank dapat mengalami kelebihan atau kekurangan likuiditas. Apabila terjadi kelebihan, maka hal itu dianggap sebagai keuntungan bank. Sedangkan jika terjadi kekurangan likuiditas, maka bank memerlukan sarana untuk menutupi kekurangan tersebut.
1.      Manajemen Likuiditas Bank Syariah
Manajemen Likuiditas Bank diartikan sebagai suatu progam penendalian dari alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus dibayar. Likuiditas bank biasanya disebut alat likuid atau reserve requitment atau simpanan uang di Bank Indonesia dalam bentuk Giro dalam jumlah yang ditentukan, disebut Giro Wajib Minimum (GWM). Dengan demikian, suatu bank syari’ah dikatakan likuid apabila:
  1.    . Dapat memelihara GWM di Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  2.    Dapat memelihara Giro di Bank Koresponden. Giro di Bank Koresponden adalah rekening yang dipelihara di Bank Koresponden yang besarnya ditetapkan berdasarkan Saldo Minimum.
  3.    . Dapat memelihara sejumlah Kas secukupnya untuk memenuhi pengambilan uang tunai.
Manajemen Likuiditas adalah mengelola bagaimana bank dapat memenuhi baik kewajiban yang sekarang maupun kewajiban yang akan datang bila terjadi penarikan atau pelunasan asset liability yang sesuai perjanjian ataupun yang belum diperjanjikan (tidak terduga).
Secara garis besar kondisi likuiditas bank dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah uncontrollable factor sedangkan faktor internal pada umumnya adalah yang bisa dikendalikan oleh bank. Faktor eksternal antara lain kondisi ekonomi dan moneter, Karakteristik deposan, kondisi pasar uang, peraturan, dll. Sedangkan faktor internal sangat tergantung kepada kemampuan manajemen mengatur setiap instrumen likuiditas bank. Contohnya adalah pemilihan strategi penerapan asset-liabities manajemen.

Likuiditas adalah berhubungan dengan masalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi.[2] Sehingga dibutuhkan strategi dalam memanajemen likuiditas, adapun tujuan manajemen likuiditas adalah untuk :
  1.    . Menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari
  2. .... Memenuhi kebutuhan dana mendesak
  3.    . Memuaskan permintaan nasabah akan pembiayaan
  4.    . Memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan.
  5.    . Menjaga posisi likuiditas bank agar mampu memenuhi ratio yang ditentukan bank sentral.
  6.    . Meminimalkan idle fund
B.     Ciri-Ciri Bank yang Memiliki Likuiditas Sehat
Dengan melakukan manajemen likuiditas maka Bank akan dapat memelihara likuiditas yang dianggap sehat dengan ciri-ciri Sebagai berikut:
·        Memiliki sejumlah  alat likuid , cash asset (uang kas, rekening pada bank sentral dan bank lainnya) setara       dengan kebutuhan likuiditas yang diperkirakan,
·     Memiliki likuiditas kurang dari kebutuhan, tetapi memiliki surat-surat berharga yang segera dapat dialihkan      menjadi kas, tanpa harus mengalami kerugian baik sebelum atau sesudah jatuh tempo,
·   Memiliki kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara menciptakan uang, misalnya dengan               menjual surat berharga dengan repurchase agreement
·         Memenuhi rasio pengukuran likuiditas yang sehat yaitu :
a.       Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga:
  o       Merupakan ukuran untuk menilai kemampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas        akibat penarikan dana oleh pihak ketiga dengan menggunakan alat likuid bank yang                     tersedia,
  o   Alat likuid bank terdiri atas uang kas, saldo giro pada bank sentral dan bank koresponden
  o   Semakin besar rasio ini semakin besar kemampuan bank memenuhi kewajiban jangka                 pendeknya, tetapi disisi lain mengidentifikasikan semakin besarnya idle money.
b.      Ratio pembiayaan terhadap total dana pihak ketiga (FDR)
o   Finance to deposit ratio (FDR), yang menggambarkan perbandingan pembiayaan yang          disalurkan dengan jumlah DPK yang disalurkan,
o   Ratio ini harus dipelihara pada posisi tertentu yaitu 75-100%. Jika ratio di bawah 75%        maka bank dalam kondisi kelebihan likuididitas, dan jika ratio diatas 100% maka bank          dalam kondisi kurang likuid,
Menurut kriteria Bank Indonesia, ratio sebesar 115% keatas nilai kesehatan likuiditas bank adalah nol.
C.    Tarik Ulur Likuiditas  dan Profitabilitas Bank Syari’ah
Selain likuiditas, faktor lain yang menjadi perhatian adalah tingkat profitabilitas. Profitabilitas (Profitability) adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Pengukuran tingkat profitabilitas bank syariah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh bank dapat menjalankan aktivitas manajerial secara efisien. Selain itu, profitabilitas juga merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam penilaian tingkat kesehatan bank.
Ada dua rasio yang biasanya dipakai untuk mengukur kinerja bank yaitu Return On Assets (ROA) dan Return On Equity (ROE). ROA adalah perbandingan antara pendapatan bersih dengan rata-rata aktiva. ROE didefinisikan sebagai perbandingan antara pendapatan bersih dengan rata-rata modal atau investasi para pemilik bank. Dari pandangan para pemilik, ROE adalah ukuran yang penting karena merefleksikan kepentingan pemilikan mereka.
Berbeda dengan bank konvensional, hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahibul maal) dengan pengelola dana (mudharib). Oleh karena itu tingkat profitabilitas bank syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga berpengaruh terhadap bagi hasil yang dapat diberikan kepada penyimpan dana.
 Dengan demikian profit yang dihasilkan bank dapat menarik minat masyarakat pemilik dana untuk menyimpan uang mereka di bank atau menginvestasikan melalui penyertaan modal. Kemampuan bank dalam menghasilkan profit akan tergantung pada kemampuan manajemen bank yang bersangkutan dalam mengelola aset dan liabilitas yang ada dengan sebaik-baiknya sehingga tujuan yang diharapkan oleh bank dapat tercapai.
Hubungan antara likuiditas dan profitabilitas merupakan hubungan yang sangat mempengaruhi dan biasanya terjadi tarik ulur (trade-off). Jika likuiditas tinggi, maka profitabilitas bank akan rendah dan jika likuiditas rendah, maka profitabilitas bank akan tinggi.
D.    Instrumen Likuiditas Bank Syari’ah
Untuk mengatasi masalah likuiditas dalam dunia perbankan, baik itu bersifat kelebihan likuiditas ataupun kekurangan likuiditas, maka banyak sekali cara yang bisa digunakan. Ketika terjadi kelebihan likuiditas, pemerintah bisa mengatasinya dengan cara menerbitkan surat berharga islami, baik itu seperti sukuk dan lainnya. Selain itu juga, untuk mengatasi masalah likuiditas antar bank, maka BI dan Perhimpunan Bank Umum Nasional (PERBENAS) bekerja sama membentuk pooling fund, yang berfungsi sebagai wadah untuk penyimpanan dana bagi bank yang kelebihan likuiditas serta tempat untuk meminjam dana bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
Adapun instrumen-instrumen likuiditas yang dapat dijalankan bank syari’ah dalam rangka memenuhi kewajiban likuiditas, yaitu;
a.      Giro Wajib Minimum (GWM)
Giro Wajib Minimum (Statury Reserve Requirement) adalah simpanan minimum bank umum dalam giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan olah Bank Indonesia berdasarkan persentase tertentu dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Giro Wajib Minimum ini merupakan kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian bank dan berperan pula sebagai instrument moneter untuk mengendalikan jumlah uang beredar.
Perhitungan GWM
Giro wajib minimum merupakan rasio antara saldo giro dari seluruh kanto Bank yang tercatat pada Bank Indonesia setiap hari dengan rata-rata harian jumlah DPK Bank . Perhitungan ini berlaku baik untuk GWM dalam rupiah maupun valuta asing:
Rumus  perhitungan GWM:
GWMRupiah = 5 % x DPKt-2
GWMValas   = 3 % x DPKt-2
Keterangan:
·         GWM  = Giro Wajib Minimum
·        DPKt-2 = Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam satu masa  laporan untuk periode dua masa laporan       sebelumnya.
Perhitungan persentase GWM dilakukan berdasarkan jumlah harian saldo giro pada Bank Indonesia dan rata-rata harian jumlah DPK sebagai berikut:

Persentase GWM
Jumlah Harian Saldo Giro
Rata-rata DPK
Tanggal
Tanggal
Tanggal
1 s.d 7
1 s.d 7
16-23 bulan sebelumnya
8 s.d 15
8 s.d 15
24 s.d akhir bulan sebelumnya
16 s.d 23
16 s.d 23
1-7 bulan sebelumnya
24 s.d akhirbulan
24 s.d akhir bulan
8-15 bulan sebelumnya

Dana Pihak Ketiga bank yang dimaksudkan disini meliputi seluruh DPK dalam Rupiah Maupun Valuta Asing pada kantor bank yang bersangkutan di Indonesia. DPK dalam rupiah meliputi kewajiban kepada pihak ketiga bukan bank yang terdiri dari:
·         Giro wadi’ah
·         Tabungan mudharabah
·         Deposito investasi mudharabah, dan
·         Kewajiban lainnya
DPK bank dalam rupiah ini tidak termasuk dana yang diterima oleh bank dari Bank Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat
DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga termasuk bank dan Bank Indonesia, yang terdiri dari:
·         Giro wadi’ah
·         Devosito investasi mudharabah, dan
·         Kewajiban lainnya
b.      Kliring
Kliring adalah sarana perhitungan utang-piutang antar bank dengan cara saling menyerahkan surat-surat berharga dan surat-surat dagang guna memperlancar lalu lintas pembayaran yang terdiri dari pengiriman uang, inkaso, dan pembukaan letter of kredit.
Ketentuan mengenai kliring yang berlaku bagi bank umum konvensional berlaku pula bagi bank umum yng berdasarkan prinsip syariah, dengan beberapa perbedaan dan tambahan. Ketentuan yang berlaku bagi bank berdasarkan prinsip syari’ah antara lain meliputi ukuran besarnya sanksi pelanggaran saldo giro negatif dan tatacara pengenaan sanksi untuk bank-bank bersaldo negatif.
1.      Cara dan persyaratan opeserta kliring
Pada dasarnya persyaratan dan tata cara peserta kliring untuk kantor cabang syari’ah dan bank umum konvensional diperlakukan sama dengan bank umum. Untuk menjadi peserta kliring , kantor cabang syari’ah dapat berstatus sebagai peseta langsung (PL) atau peserta tidak langsung. Peserta langsung adalah peserta kliring yang dalam pelaksanaan kliring lokal dapat memperhitungkan warkat-warkat kliring dengan menggunakan identitas sendiri. Sedangkan peserta tidak langsung adalah peserta yang yang turut serta dalam pelaksanaa melalui peserta langsung yang menjadi induknya dari bank yang sama.
c.       Pasar Uang Antar-Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah (PUAS)
Bank yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi antara pemilik dan pengguna dana dapat berpotensi mengalami kekurangan atau kelebihan likuiditas. Kekurangan likuiditas umumnya disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara penerimaan dan penanaman dana, sedangkan kelebihan likuiditas dapat terjadi karena dana yang terhimpun belum dapat tersalurkan kepada pihak yang membutuhkan.

Dalam rangka peningkatan pengelolaan dana bank, yaitu pengelolaan kelebihan dan kekurangan dana, perlu diselenggarakan Pasar Uang Antarbank. Agar bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan kegiatan syariah dapat juga mengelola kelebihan dan kekurangan dana secara efisien, maka perlu Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip syariah (PUAS), dan menggunakan piranti yang sesuai dengan prinsip syariah. Untuk saat ini, instrumen keuangan untuk Pasar Uang Syariah yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia yakni berupa: Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (Sertifikat IMA).
Berlakunya instrumen  keuangan syariah IMA ini berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia no 9/8/DPM tertanggal 30 Maret 2007. Tujuan diberlakukannya Sertifikat IMA ini adalah untuk sarana investasi bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah, terutama untuk mengatur kebutuhan likuiditasnya. Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (sertifikat IMA) didefinikan sebagai sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) yang digunakan sebagai sarana investasi jangka pendek di PUAS dengan akad mudharabah.
Mudharabah, sesuai definisi pada Surat Edaran tersebut, adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakat sebelumnya. Adapun karakteristik Sertifikat IMA :
1.      Diterbitkan dengan akad mudharabah
2.       Dapat diterbitkan baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing
3.      Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat.
4.      Mencantumkan informasi sedikitnya : nilai nominal investasi, nisbah bagi hasil, jangka waktu investasi, indikasi tingkat imbalan Sertifikat IMA sebelum didistribusikan pada bulan terakhir.
5.      Berjangka waktu 1 hari sampai dengan 365 hari
6.      Dapat diperdagangkan sebelum jatuh tempo.

d.      Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI)
Selama ini kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian uang yang beredar ditempuh dengan pelaksanaan operasi pasar terbuka, yaitu menambah atau mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat melalui bank-bank konvensional. Dengan makin berkembangnya bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah maka pengendalian uang dapat diperluas melalui bank-bank tersebut.
Agar pelaksanaan operasi pasar terbuka berdasarkan prinsip syariah dapat berjalan dengan baik, maka perlu diciptakan suatu piranti pengendalian uang beredar yang sesuai prinsip syariah dalam bentuk sertipikat wadi’ah bank Indonesia (swbi). Piranti tersebut dapat dijadikan sarana penitipan jangka pendek khususnya bagi bank yang mengalami kelebihan likuiditas.         
Jumlah dana yang dititipkan sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Jangka waktu SWBI adalah satu minggu, dua minggu dan satu bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari.[3]
  

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pengertian likuiditas pada umumnya adalah mengenai posisi uang kas suatu perusahaan dan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban (membayar utang) yang jatuh tempo tepat pada waktunya.
2.      Apabila dikaitkan dengan lembaga bank, likuiditas berarti kemampuan bank setiap waktu dalam untuk membayar utang jangka pendeknya apabila tiba-tiba ditagih oleh nasabah atau pihak-pihak terkait.
3.      Profitabilitas (Profitability) adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba.
4.      Pengukuran tingkat profitabilitas bank syariah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh bank dapat menjalankan aktivitas manajerial secara efisien.
5.      Intrumen likuiditas bank syari’ah adalah sebagai berikut:
·         Giro Wajib Minimum
·         Kliring
·         Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syari’ah (PUAS), dan
·         Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI)

B.     Saran
Pemakalah menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan, untuk itu pemakalah sangat membutuhkan saran dari peserta diskusi, terutama dari Ibu Dosen pembimbing dalam mata kuliah ini, untuk perbaikan dalam pembuatan makalah di kemudian hari.





[1] Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,(Jakarta:Kencana,2005) hal. 140.
[2] Riyanto Bambang.Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. (Yogyakarta: BPFE,2001).  hal.25

[3] Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah.(Yogyakarta: UPP AMP YKPN,2005). hal.399

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarat Account Officer

Syarat Account Officer Ideal Seorang Account Officer (AO) adalah orang yang melakukan pemasaran dan penjualan kredit perbankan . d...