Rabu, 04 Desember 2013

Kebijakan Fiskal dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
           Negara yang kaya adalah Negara yang mampu mensejahterakan rakyatnya, selain itu keberhasilan suatu Negara juga dipengaruh oleh pengelolaan Negara terhadap keuangan Negara. Negara yang kaya akan sumber daya belum tentu bisa mensejahterakan rakyatnya, karena tidak mampu mengelola sumber daya tersebut. begitu juga sebaliknya Negara yang tidak begitu kaya akan sumber daya bisa saja mampu mensejahterakan rakyatnya, hal ini terjadi karena mereka mampu mengelola dan menggunakan sumber daya yang terbatas tersebut. Dan juga kebijakan-kebijakan perekonomian yang mampu meratakan pembangunan sehingga tidak ada kesenjangan social.
           Bagaimanakah Islam menghadapi masalah tersebut, kebijakan-kebijakan seperti apakah yang mampu mengatasi permasalahan tersebut, sehingga terwujud masyarakat yang sejahtera secara merata, mulai dari masyarakat kota, masyarakat desa, orang miskin serta orang kaya, agar terwujud keseimbangan dan pembangunan yang merata.

B.     Rumusan Masalah
  1.      Q.S At-Taubah Ayat 60
  2.      Asbabul Nuzul
  3.      Penjelasan
  4.      Q.S At-Taubah Ayat 103
  5.      Asbabun Nuzul
  6.      Penjelasan

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Q.S At-Taubah Ayat 60
1.      Bunyi ayat
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٦٠)
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S At-Taubah 09: 60)

2.      Asbabun Nuzul
           Imam Bukhari dan an-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., ia berkata, “Ketika Nabi melakukan pembagian zakat, tiba-tiba datanglah Dzul Huwaishir at-Tamimi kepada beliau lalu berkata, ‘Yang adillah wahai Rasulullah!’ Kemudian beliau bersabda, ‘Celakalah kamu! Siapakah yang tidak berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil?’ Kemudian ‘Umar ibnul Khathab berkata, ‘Izinkanlah aku untuk memenggal lehernya!’ Rasulullah bersabda, ‘Biarkanlah dia! Sesungguhnya dia mempunyai kawan-kawan yang salah seorang dari kamu meremehkan shalatnya bersama shalat mereka, dan puasanya bersama puasa mereka. Mereka lepas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busur’. Maka mengenai mereka turunlah ayat 58 surat at-Taubah.
            Dilanjutkan ayat 59 tentang adab jiwa dan lidah serta adab iman, yaitu ridha terhadap pembagian Allah swt dan Rasul-Nya. Ridha karena menerima dan merasa puas, bukan menerima karena terpaksa. Setelah menjelaskan adab yang seharusnya dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya, dengan sukarela dan penuh ketundukan, Al-Qur’an menetapkan bahwa urusan pembagian zakat itu bukan urusan Rasul, melainkan urusan Allah. Pembagian zakat itu merupakan kewajiban yang telah ditetapkan-Nya, dan pembagian zakat juga telah ditetapkan oleh-Nya. Rasul hanya bertugas melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah swt. Dengan demikian, zakat itu ditempatkan pada posisinya menurut syariat Allah dan menurut aturan Islam, bukan sebagai perbuatan sukarela dari orang yang berkewajiban menunaikannya.[1]

3.      Penjelasan
           Ketika Allah menyebutkhan keluhan dan celaan orang-orang munafik yang bodoh itu terhadap Rasulullah yang berkaitan dengan pembagian zakat, Allah menjelaskan bahwa Allah lah yang mengatur pembagian zakat tersebut dan tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada selainnya. Allah membaginya untuk mereka yang disebutkan dalam ayat diatas. Para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat harus meliputi semuanya, atau sebatas yang memungkinkan.
Maksud dari ayat ini adalah zakat-zakat yang wajib, berbeda dengan sadaqah mustahabah yang bebas diberikan kepada semua orang tanpa ada pengkhususan. Para ulama’ berbeda pendapat berkaitan dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat harus meliputi semuanya, atau sebatas yang memungkinkan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat :
  •       Pertama, harus meliputi semuanya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’i dan sekelompok ulama’.
  •       Kedua, tidak harus semuanya. Harta zakat boleh diberikan kepada satu kelompok saja, meskipun terdapat kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama’ salaf dan khalaf, di antaranya, Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Said bin Zubair dan Mimun bin Mihran. Ibnu Jabir berkata, “Ini adalah pendapat sebagian besar ulama’.
          Penyebutan kelompok-kelompok dalam ayat tersebut adalah untuk menjelaskan mereka yang berhak, bukan karena keharusan memenuhi semuanya. Dari ayat diatas dijelaskan bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat adalah sebagai berikut:


1.       لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِين (Fakir dan Miskin)
            Pada dasarnya kedua keadaan tersebut adalah sama dan sejenis, akan tetapi fakir keadaannya lebih memprihatinkan dari pada miskin, sehingganya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan fakir lebih dahulu dari pada miskin dalam ayat tersebut. Di bawah ini kami akan sebutkan beberapa perbedaan dan pengertian antara fakir dan miskin.
          Imam Abu Ja’far berkata : Zakat hanyalah untuk orang fakir dan miskin.
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai siapakah yang disebut dengan orang fakir dan miskin itu :
  •       Waqi, Ibnu Jarir, As’as dan Hasan berpendapat, “Bahwasanya yang disebut dengan fakir ialah orang yang tidak punya apa-apa sedangkan ia hanya berpangku tangan dirumahnya, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya tetapi ia masih berusaha untuk mencukupi kehidupannya”.
  •       Mujahid, “Fakir ialah orang tidak punya tetapi ia tidak minta-minta, sedangkan miskin ialah orang tidak punya dan ia meminta-minta.
  •       Orang fakir ialah orang tidak punya dan ia berhijrah, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya dan ia tidak berhijrah.
  •       Fakir ialah orang yang tidak mendapatkan apa-apa, atau hanya mendapatkan sebagian kecil dari kebutuhannya.
  •       Miskin ialah seseorang yang mendapatkan atau bisa memenuhi sebagian besar dari kebutuhannya, namun tidak mencukupi secara keseluruhan. Jika ia dapat mencukupi secara kesuluruhan maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang kaya.

2.      الْعَامِلِين (Amil)
            Masharif zakat yang ketiga adalah amil zakat, yaitu orang bertugas mengelola atau mengambil zakat dari orang-orang yang berhak mengeluarkan zakat kemudian membagikannya kepada orang yang berhak pula. Mereka berhak mendapatkan bagian zakat. Seorang Amil tidak boleh dari kerabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka tidak berhak menerima zakat berdasarkan hadits shahih dari yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdul Muthalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwa ia dan Fadl bin Abbas memohon kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “ Sesunguhnya zakat itu tidak dihalalkan bagi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan keluarganya. Sesungguhnya zakat itu adalah kotoran (harta) manusia.”
            Adapun pendapat yang paling shahih dan mendekati kebenaran menurut Ibnu Jarir dalam kitabnya Jami’ul Bayan adalah pendapat yang kedua, yaitu seorang amil diberikan zakat sesuai dengan kadar apa yang telah diperbuatnya.

3.      الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ (Para muallaf yang dibujuk hatinya)
            Yaitu orang-orang yang perlu dilunakkan hatinya kepada Islam, supaya mereka memberikan sumbangsinya kepada Islam, atau Rais kaum yang baru masuk Islam dan dia diberikan zakat supaya mereka menegetahui bahwasanya agama Islam adalah agama yang benar dan shalih, dan supaya bertambah keimanannya. Diantara mereka yang dilunakkan hatinya pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Sufyan bin Harb, Uyainah bin Badr dan Aqra’ bin Habis.
          Mereka ada tiga golongan :
  •      Yang dilunakkan hatinya supaya masuk Islam.
  •      Mereka yang masih lemah keislamannya atau lmannya.
  •      Mereka yang diberi zakat untuk mencegah kejelekan yang mereka timbulkan buat kaum mukminin.
4.      الرِّقَابِ (Hamba sahaya)
           Yaitu budak-budak yang sedang dalam proses memerdekakan diri, atau membeli diri mereka dari majikannya. Mereka dimerdekakan dan dibantu dengan harta zakat. Diriwaytakan dari Hasan al-Bashri ,Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Said bin Zubar an-Nakha’I, az-Zuhri dan Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud dengan riqab adalah “al-Mukatib” yaitu hamba sahaya yang mengadakan perjanjian bebas.

5.      وَالْغَارِمِينَ (Orang yang terlilit hutang)
           Yaitu orang yang terlilit utang tetapi bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian ia tidak bisa melunasi hutangnya tersebut. Mujahid berkata, “AlGharimin ialah orang yang terbakar rumahnya, kemudian ia berhutang untuk membangun kembali rumahnya.” Wajib bagi seorang Imam memerinya harta atau zakat dari Baitul Mal.
           Dalam keadaan ini ada dua golongan :
  1.      Berhutang untuk kebaikan orang yang berselisih sehinga diberi sesuai dengan kadar utangnya.
  2.      Berutang untuk pribadi, yakni menanggung banyak utang tapi tidak mampu membayarnya.
  3.      Orang yang mempunyai tanggungan denda atau hutang yang harus dipenuhi, sedangkan untuk memenuhinya ia harus menguras harta kekayaannya atau ia harus berhutang kepada orang lain, atau berhutang dan melakukan kemaksiatan lalu ia bertaubat. Maka orang yang seperti ini diberi zakat.
           Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari bu Sai’d Al-Khudri ia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada seseorang yang menderita banyak kerugian karena buah-buahan yang barui saja dibelinya terkena hama, hingga hutangnya menumpuk. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bersedekahlah kepadanya,” maka orang-orangpun bersadaqah kepadanya, akan tetapi tidak mencukupi untuk melunasi hutangnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada para piutang tersebut, “Ambillah apa yang kalian dapati, hanya itu saja bagaian yang kalian dapatkan. (HR. Muslim).

6.      وَفِي سَبِيلِ اللَّه (Orang yang berjuang di jalan Allah)
          Para ulama’ berselisih pendapat mengenai pengertian fi sabilillah dalam ayat tersebut :
  •      Abu Yusuf berkata, “Yang dimaksud adalah orang yang berjihad atau di  dalam peperangan (mujahidin) yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dan melawan musuh-musuh-Nya.”
  •      Muhammad, “Orang yang berhaji.”
  •      Sebagian ulama’ berpendapat mereka adalah orang yang sedang menuntut ilmu.
           Adapun yang paling mendekati kebenaran adalah setiap orang yang berusaha untuk taat kepada Allah dan orang-orang yang berada di jalan kebenaran. Misalnya: peperangan, membantu jemaah haji yang kehabisan biaya, pelajar dan mahasiswa yang kehabisan biaya dan lain-lain.[2]

7.      وَاِبْنِ السَّبِيلِ (ibnu sabil)
             Ialah seorang musafir di suatu negeri yang bekalnya tidak mencukupi untuk dipakai pulang ke negerinya meskipun ia orang kaya, maka ia diberi bagian zakat yang mencukupi untuk pulang ke negerinya. Begitu pula dengan orang yang ingin bepergian, akan tetapi tidak memiliki bekal, maka ia diberi dari bagian zakat untuk perbekalannya pergi dan pulang. Namun ia tidak diperbolehkan mengambil lebih dari kebutuhannya.
فَرِيضَةً مِن اللَّهِ َ
             Maksudnya ialah pembagian ini adalah langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diwajibkan kepada orang yang mempunyai harta dari orang muslimin. Allah Maha  Mengetahui kemaslahatan mahluknya terhadapa apa saja yang diwajibkan kepada mereka, tidak ada sesuatu apapun yang samar bagi-Nya. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan zakat pada kaum muslimin melainkan ada maslahat di dalamnnya.

وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Dialah Maha Bijaksana yang mengatur segala sesuatu.  

        Dari kedelapan masharif zakat tersebut, bisa disimpulkan dalam dua hal :
1.      Orang yang diberi zakat bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya.
2.      Orang yang diberi zakat dengan tujuan untuk kemaslahatan bagi Islam dan muslimin

B.     At-Taubah Ayat 103
1.      Bunyi ayat
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١٠٣)
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”[3] (Q.S At-Taubah 09:103)

2.      Asbabun nuzul
            Ibnu Jarir ath-Thabari dari Muhammad bin Sa’ad dari bapaknya, dari pamannya, dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata, “Ketika Rasulullah saw membebaskan Abu Lubabah dan dua sahabatnya (ayat sebelumnya menerangkan tentang sekelompok orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, termasuk didalamnya Abu Lubabah. Mereka merasa menyesal dan mencoba menghukum diri mereka sendiri dengan mengikatkan tubuh mereka pada tiang masjid.
            Saat Rasulullah saw pulang dari peperangan dan melihat yang mereka lakukan, beliau mengatakan tidak akan menolong mereka jika tidak ada perintah dari Allah swt, kemudian turunlah ayat 102 yang isinya sekelompok orang itu sudah menyadari akan perbuatannya dan Allah swt akan mengampuni mereka. Rasulullah saw pun menolong mereka).
            Maka Abu Lubabah dan sahabatnya datang membawa harta mereka untuk menemui Rasulullah saw. Mereka berkata, “Ambil sebagian dari harta kami dan sedekahkanlah bagi kami, serta doakanlah kami”. Mendapati hal itu Rasulullah saw bersabda, “Saya tidak akan mengambil sedikit pun dari harta kalian itu hingga saya diperintahkan oleh Allah Swt”. Maka Allah Swt kemudian menurunkan ayat 103 surat at-Taubah ini.
3.      Penjelasan
           Salah satu bentuk pengampunan Allah Swt adalah melalui sedekah dan pembayaran zakat. Karena itu, Rasulullah Saw diperintah: Ambillah sedekah atas nama Allah Swt, yakni harta berupa zakat dan sedekah yang hendaknya mereka serahkan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan hati, dari sebagian harta mereka, bukan seluruhnya, bukan pula sebagian besar, dan tidak pula yang terbaik; dengannya yakni dengan harta yang engkau ambil itu engkau membersihkan harta dan jiwa mereka dan mensucikan jiwa lagi mengembangkan harta mereka, dan berdoalah untuk mereka guna menunjukan restumu pada mereka dan memohonkan keselamatan serta kesejahteraan badi mereka. Sesungguhnya doamu itu adalah sesuatu yang dapat menjadi ketentraman jiwa bagi mereka yang selam ini takut dan gelisah akan dosa-dosa mereka. Dan sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.[4]
          Dapat dikatakan bahwa penunaian zakat adalah untuk membersihkan harta benda, sebab dalam harta seseorang terdapat pula hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama Islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain, yang haram untuk dirinya. Akan tetapi jika ia menunaikan zakatnya, maka bersihlah hartanya dari hak orang lain.
            Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Sedekah dan zakat membersihkan diri orang yang menunaikannya dari sifat-sifat kikir, serakah dan cinta harta yang sangat berlebihan, yang sering menghalangi mereka dari menunaikan perintah-perintah agama, dan jihad.
2.      Allah Swt senantiasa akan menerima taubat hamba-Nya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan Dia akan menerima pula amal hamba-Nya yang berupa sedekah ataupun zakat yang ditunaikan dengan penuh keimanan dan keikhlasan.
3.  Allah Swt akan melihat amalan-amalan hamba-Nya untuk menilainya. Dan Rasulullah Saw juga melihatnya, untuk menunjangnya dengan doa bagi orang-orang yang bertaubat dan berbuat kebaikan-kebaikan itu. Dan kaum muslimin juga melihat amalan kebajikan yang dilakukan oleh seseorang untuk dicontoh dan ditiru.
4.      Pada hari kiamat, Allah Swt akan memberitahukan kepada orang-orang yang melakukan amal kebajikan itu hasil dari perbuatan mereka, dengan cara member balasan kepada mereka.



BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
1.      Orang yang diberi zakat bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya.
2.      Orang yang diberi zakat dengan tujuan untuk kemaslahatan bagi Islam dan muslimin
3.      Sedekah dan zakat membersihkan diri orang yang menunaikannya dari sifat-sifat kikir, serakah dan cinta harta yang sangat berlebihan, yang sering menghalangi mereka dari menunaikan perintah-perintah agama, dan jihad.
4.      Allah Swt senantiasa akan menerima taubat hamba-Nya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan Dia akan menerima pula amal hamba-Nya yang berupa sedekah ataupun zakat yang ditunaikan dengan penuh keimanan dan keikhlasan.
5.      Allah Swt akan melihat amalan-amalan hamba-Nya untuk menilainya. Dan Rasulullah Saw juga melihatnya, untuk menunjangnya dengan doa bagi orang-orang yang bertaubat dan berbuat kebaikan-kebaikan itu. Dan kaum muslimin juga melihat amalan kebajikan yang dilakukan oleh seseorang untuk dicontoh dan ditiru.
6.      Pada hari kiamat, Allah Swt akan memberitahukan kepada orang-orang yang melakukan amal kebajikan itu hasil dari perbuatan mereka, dengan cara memberi balasan kepada mereka.


[2] Bachtiar Surin. Adz Dzikraa.(Bandung: Angkasa.1991) hal. 783
[3] Mardani. Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah .(Jakarta: RajaGrafindo Persada.2011) hal.54-55
[4] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah .(Jakarta: Lentera Hati.2002) hal.706

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarat Account Officer

Syarat Account Officer Ideal Seorang Account Officer (AO) adalah orang yang melakukan pemasaran dan penjualan kredit perbankan . d...