BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Negara yang kaya adalah Negara yang mampu mensejahterakan
rakyatnya, selain itu keberhasilan suatu Negara juga dipengaruh oleh
pengelolaan Negara terhadap keuangan Negara. Negara yang kaya akan sumber daya
belum tentu bisa mensejahterakan rakyatnya, karena tidak mampu mengelola sumber
daya tersebut. begitu juga sebaliknya Negara yang tidak begitu kaya akan sumber
daya bisa saja mampu mensejahterakan rakyatnya, hal ini terjadi karena mereka
mampu mengelola dan menggunakan sumber daya yang terbatas tersebut. Dan juga
kebijakan-kebijakan perekonomian yang mampu meratakan pembangunan sehingga
tidak ada kesenjangan social.
Bagaimanakah Islam menghadapi masalah tersebut,
kebijakan-kebijakan seperti apakah yang mampu mengatasi permasalahan tersebut,
sehingga terwujud masyarakat yang sejahtera secara merata, mulai dari
masyarakat kota, masyarakat desa, orang miskin serta orang kaya, agar terwujud
keseimbangan dan pembangunan yang merata.
B.
Rumusan Masalah
- Q.S
At-Taubah Ayat 60
- Asbabul
Nuzul
- Penjelasan
- Q.S
At-Taubah Ayat 103
- Asbabun
Nuzul
- Penjelasan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Q.S At-Taubah Ayat 60
1.
Bunyi ayat
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ
وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٦٠)
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana” (Q.S At-Taubah 09: 60)
2.
Asbabun
Nuzul
Imam Bukhari dan an-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id
al-Khudri r.a., ia berkata, “Ketika Nabi melakukan pembagian zakat, tiba-tiba
datanglah Dzul Huwaishir at-Tamimi kepada beliau lalu berkata, ‘Yang adillah
wahai Rasulullah!’ Kemudian beliau bersabda, ‘Celakalah kamu! Siapakah yang
tidak berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil?’ Kemudian ‘Umar ibnul Khathab
berkata, ‘Izinkanlah aku untuk memenggal lehernya!’ Rasulullah bersabda,
‘Biarkanlah dia! Sesungguhnya dia mempunyai kawan-kawan yang salah seorang dari
kamu meremehkan shalatnya bersama shalat mereka, dan puasanya bersama puasa
mereka. Mereka lepas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busur’. Maka
mengenai mereka turunlah ayat 58 surat at-Taubah.
Dilanjutkan ayat 59 tentang adab jiwa dan lidah serta
adab iman, yaitu ridha terhadap pembagian Allah swt dan Rasul-Nya. Ridha karena
menerima dan merasa puas, bukan menerima karena terpaksa. Setelah menjelaskan
adab yang seharusnya dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya, dengan sukarela dan
penuh ketundukan, Al-Qur’an menetapkan bahwa urusan pembagian zakat itu bukan
urusan Rasul, melainkan urusan Allah. Pembagian zakat itu merupakan kewajiban
yang telah ditetapkan-Nya, dan pembagian zakat juga telah ditetapkan oleh-Nya.
Rasul hanya bertugas melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah
swt. Dengan demikian, zakat itu ditempatkan pada posisinya menurut syariat
Allah dan menurut aturan Islam, bukan sebagai perbuatan sukarela dari orang
yang berkewajiban menunaikannya.[1]
3.
Penjelasan
Ketika Allah menyebutkhan keluhan dan celaan orang-orang
munafik yang bodoh itu terhadap Rasulullah yang berkaitan dengan pembagian
zakat, Allah menjelaskan bahwa Allah lah yang mengatur pembagian zakat tersebut
dan tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada selainnya. Allah membaginya untuk
mereka yang disebutkan dalam ayat diatas. Para ulama berbeda pendapat berkaitan
dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat harus meliputi semuanya,
atau sebatas yang memungkinkan.
Maksud dari ayat ini adalah zakat-zakat yang wajib,
berbeda dengan sadaqah mustahabah yang bebas diberikan kepada semua orang tanpa
ada pengkhususan. Para ulama’ berbeda pendapat berkaitan dengan delapan
kelompok ini, apakah pembagian zakat harus meliputi semuanya, atau sebatas yang
memungkinkan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat :
- Pertama,
harus meliputi semuanya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’i
dan sekelompok ulama’.
- Kedua,
tidak harus semuanya. Harta zakat boleh diberikan kepada satu kelompok
saja, meskipun terdapat kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik
dan sekelompok ulama’ salaf dan khalaf, di antaranya, Umar, Hudzaifah,
Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Said bin Zubair dan Mimun bin Mihran. Ibnu Jabir
berkata, “Ini adalah pendapat sebagian besar ulama’.
Penyebutan kelompok-kelompok dalam ayat tersebut adalah
untuk menjelaskan mereka yang berhak, bukan karena keharusan memenuhi semuanya.
Dari
ayat diatas dijelaskan bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat adalah
sebagai berikut:
1.
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِين (Fakir dan
Miskin)
Pada dasarnya kedua keadaan tersebut adalah sama dan
sejenis, akan tetapi fakir keadaannya lebih memprihatinkan dari pada miskin,
sehingganya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan fakir lebih dahulu dari pada
miskin dalam ayat tersebut. Di bawah ini kami akan sebutkan beberapa perbedaan
dan pengertian antara fakir dan miskin.
Imam Abu Ja’far berkata : Zakat
hanyalah untuk orang fakir dan miskin.
Para ulama’ berselisih pendapat
mengenai siapakah yang disebut dengan orang fakir dan miskin itu :
- Waqi, Ibnu Jarir, As’as dan Hasan berpendapat,
“Bahwasanya yang disebut dengan fakir ialah orang yang tidak punya apa-apa
sedangkan ia hanya berpangku tangan dirumahnya, sedangkan miskin ialah
orang yang tidak punya tetapi ia masih berusaha untuk mencukupi
kehidupannya”.
- Mujahid, “Fakir ialah orang tidak punya tetapi
ia tidak minta-minta, sedangkan miskin ialah orang tidak punya dan ia
meminta-minta.
- Orang fakir ialah orang tidak punya dan ia
berhijrah, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya dan ia tidak
berhijrah.
- Fakir ialah orang yang tidak mendapatkan
apa-apa, atau hanya mendapatkan sebagian kecil dari kebutuhannya.
- Miskin ialah seseorang yang mendapatkan atau
bisa memenuhi sebagian besar dari kebutuhannya, namun tidak mencukupi
secara keseluruhan. Jika ia dapat mencukupi secara kesuluruhan maka ia
bisa dikatakan sebagai orang yang kaya.
2.
الْعَامِلِين (Amil)
Masharif zakat yang ketiga adalah amil zakat, yaitu orang
bertugas mengelola atau mengambil zakat dari orang-orang yang berhak mengeluarkan
zakat kemudian membagikannya kepada orang yang berhak pula. Mereka berhak
mendapatkan bagian zakat. Seorang Amil tidak boleh dari kerabat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka tidak berhak menerima zakat
berdasarkan hadits shahih dari yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdul
Muthalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwa ia dan Fadl bin Abbas memohon kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar dijadikan sebagai amil zakat,
maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “ Sesunguhnya zakat itu
tidak dihalalkan bagi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan keluarganya.
Sesungguhnya zakat itu adalah kotoran (harta) manusia.”
Adapun pendapat yang paling shahih dan mendekati
kebenaran menurut Ibnu Jarir dalam kitabnya Jami’ul Bayan adalah pendapat yang
kedua, yaitu seorang amil diberikan zakat sesuai dengan kadar apa yang telah
diperbuatnya.
3.
الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ (Para
muallaf yang dibujuk hatinya)
Yaitu orang-orang yang perlu dilunakkan hatinya kepada
Islam, supaya mereka memberikan sumbangsinya kepada Islam, atau Rais kaum yang
baru masuk Islam dan dia diberikan zakat supaya mereka menegetahui bahwasanya
agama Islam adalah agama yang benar dan shalih, dan supaya bertambah
keimanannya. Diantara mereka yang dilunakkan hatinya pada zaman Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Sufyan bin Harb, Uyainah bin Badr dan
Aqra’ bin Habis.
Mereka ada tiga golongan :
- Yang
dilunakkan hatinya supaya masuk Islam.
- Mereka
yang masih lemah keislamannya atau lmannya.
- Mereka yang diberi zakat untuk mencegah kejelekan yang mereka timbulkan buat kaum mukminin.
4.
الرِّقَابِ (Hamba
sahaya)
Yaitu budak-budak yang sedang dalam proses memerdekakan
diri, atau membeli diri mereka dari majikannya. Mereka dimerdekakan dan dibantu
dengan harta zakat. Diriwaytakan dari Hasan al-Bashri ,Muqatil bin Hayyan, Umar
bin Abdul Aziz, Said bin Zubar an-Nakha’I, az-Zuhri dan Ibnu Zaid bahwa yang
dimaksud dengan riqab adalah “al-Mukatib” yaitu hamba sahaya yang mengadakan
perjanjian bebas.
5.
وَالْغَارِمِينَ (Orang yang
terlilit hutang)
Yaitu orang yang terlilit utang tetapi bukan dalam
bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian ia tidak bisa melunasi
hutangnya tersebut. Mujahid berkata, “AlGharimin ialah orang yang terbakar
rumahnya, kemudian ia berhutang untuk membangun kembali rumahnya.” Wajib bagi
seorang Imam memerinya harta atau zakat dari Baitul Mal.
Dalam keadaan ini ada dua golongan :
- Berhutang
untuk kebaikan orang yang berselisih sehinga diberi sesuai dengan kadar
utangnya.
- Berutang
untuk pribadi, yakni menanggung banyak utang tapi tidak mampu membayarnya.
- Orang
yang mempunyai tanggungan denda atau hutang yang harus dipenuhi, sedangkan
untuk memenuhinya ia harus menguras harta kekayaannya atau ia harus
berhutang kepada orang lain, atau berhutang dan melakukan kemaksiatan lalu
ia bertaubat. Maka orang yang seperti ini diberi zakat.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dari bu Sai’d Al-Khudri ia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ada seseorang yang menderita banyak kerugian karena
buah-buahan yang barui saja dibelinya terkena hama, hingga hutangnya menumpuk.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bersedekahlah
kepadanya,” maka orang-orangpun bersadaqah kepadanya, akan tetapi tidak
mencukupi untuk melunasi hutangnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam berkata kepada para piutang tersebut, “Ambillah apa yang kalian dapati,
hanya itu saja bagaian yang kalian dapatkan. (HR. Muslim).
6.
وَفِي سَبِيلِ اللَّه (Orang yang
berjuang di jalan Allah)
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai pengertian fi
sabilillah dalam ayat tersebut :
- Abu
Yusuf berkata, “Yang dimaksud adalah orang yang berjihad atau di
dalam peperangan (mujahidin) yang berjuang untuk menegakkan kalimat
Allah dan melawan musuh-musuh-Nya.”
- Muhammad,
“Orang yang berhaji.”
- Sebagian
ulama’ berpendapat mereka adalah orang yang sedang menuntut ilmu.
Adapun yang paling mendekati kebenaran adalah setiap
orang yang berusaha untuk taat kepada Allah dan orang-orang yang berada di
jalan kebenaran. Misalnya: peperangan, membantu jemaah haji yang kehabisan
biaya, pelajar dan mahasiswa yang kehabisan biaya dan lain-lain.[2]
7.
وَاِبْنِ السَّبِيلِ (ibnu
sabil)
Ialah seorang musafir di suatu negeri yang bekalnya tidak
mencukupi untuk dipakai pulang ke negerinya meskipun ia orang kaya, maka ia
diberi bagian zakat yang mencukupi untuk pulang ke negerinya. Begitu pula
dengan orang yang ingin bepergian, akan tetapi tidak memiliki bekal, maka ia
diberi dari bagian zakat untuk perbekalannya pergi dan pulang. Namun ia tidak
diperbolehkan mengambil lebih dari kebutuhannya.
فَرِيضَةً مِن اللَّهِ َ
Maksudnya ialah pembagian ini adalah langsung dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang diwajibkan kepada orang yang mempunyai harta dari
orang muslimin. Allah Maha Mengetahui kemaslahatan mahluknya terhadapa
apa saja yang diwajibkan kepada mereka, tidak ada sesuatu apapun yang samar
bagi-Nya. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan zakat pada kaum
muslimin melainkan ada maslahat di dalamnnya.
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Dialah Maha Bijaksana yang mengatur segala sesuatu.
Dari kedelapan masharif zakat tersebut, bisa disimpulkan
dalam dua hal :
1.
Orang yang diberi zakat bertujuan untuk
memenuhi kebutuhannya.
2.
Orang yang diberi zakat dengan
tujuan untuk kemaslahatan bagi Islam dan muslimin
B.
At-Taubah Ayat 103
1.
Bunyi ayat
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١٠٣)
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”[3]
(Q.S At-Taubah 09:103)
2.
Asbabun nuzul
Ibnu Jarir ath-Thabari dari Muhammad bin Sa’ad dari
bapaknya, dari pamannya, dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata, “Ketika Rasulullah
saw membebaskan Abu Lubabah dan dua sahabatnya (ayat sebelumnya menerangkan
tentang sekelompok orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, termasuk
didalamnya Abu Lubabah. Mereka merasa menyesal dan mencoba menghukum diri
mereka sendiri dengan mengikatkan tubuh mereka pada tiang masjid.
Saat Rasulullah saw pulang dari peperangan dan melihat
yang mereka lakukan, beliau mengatakan tidak akan menolong mereka jika tidak
ada perintah dari Allah swt, kemudian turunlah ayat 102 yang isinya sekelompok
orang itu sudah menyadari akan perbuatannya dan Allah swt akan mengampuni
mereka. Rasulullah saw pun menolong mereka).
Maka Abu Lubabah dan sahabatnya
datang membawa harta mereka untuk menemui Rasulullah saw. Mereka berkata,
“Ambil sebagian dari harta kami dan sedekahkanlah bagi kami, serta doakanlah
kami”. Mendapati hal itu Rasulullah saw bersabda, “Saya tidak akan mengambil
sedikit pun dari harta kalian itu hingga saya diperintahkan oleh Allah Swt”.
Maka Allah Swt kemudian menurunkan ayat 103 surat at-Taubah ini.
3.
Penjelasan
Salah satu bentuk pengampunan Allah Swt adalah melalui
sedekah dan pembayaran zakat. Karena itu, Rasulullah Saw diperintah: Ambillah
sedekah atas nama Allah Swt, yakni harta berupa zakat dan sedekah yang
hendaknya mereka serahkan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan hati, dari
sebagian harta mereka, bukan seluruhnya, bukan pula sebagian besar, dan tidak
pula yang terbaik; dengannya yakni dengan harta yang engkau ambil itu engkau
membersihkan harta dan jiwa mereka dan mensucikan jiwa lagi mengembangkan harta
mereka, dan berdoalah untuk mereka guna menunjukan restumu pada mereka dan
memohonkan keselamatan serta kesejahteraan badi mereka. Sesungguhnya doamu itu
adalah sesuatu yang dapat menjadi ketentraman jiwa bagi mereka yang selam ini
takut dan gelisah akan dosa-dosa mereka. Dan sampaikanlah kepada mereka bahwa
Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.[4]
Dapat dikatakan bahwa penunaian zakat adalah untuk
membersihkan harta benda, sebab dalam harta seseorang terdapat pula hak orang
lain, yaitu orang-orang yang oleh agama Islam telah ditentukan sebagai
orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu belum dibayarkan oleh
pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap bercampur
dengan hak orang lain, yang haram untuk dirinya. Akan tetapi jika ia menunaikan
zakatnya, maka bersihlah hartanya dari hak orang lain.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Sedekah dan zakat membersihkan
diri orang yang menunaikannya dari sifat-sifat kikir, serakah dan cinta harta
yang sangat berlebihan, yang sering menghalangi mereka dari menunaikan
perintah-perintah agama, dan jihad.
2.
Allah Swt senantiasa akan
menerima taubat hamba-Nya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan Dia akan
menerima pula amal hamba-Nya yang berupa sedekah ataupun zakat yang ditunaikan
dengan penuh keimanan dan keikhlasan.
3. Allah Swt akan melihat
amalan-amalan hamba-Nya untuk menilainya. Dan Rasulullah Saw juga melihatnya,
untuk menunjangnya dengan doa bagi orang-orang yang bertaubat dan berbuat
kebaikan-kebaikan itu. Dan kaum muslimin juga melihat amalan kebajikan yang
dilakukan oleh seseorang untuk dicontoh dan ditiru.
4.
Pada hari kiamat, Allah Swt akan
memberitahukan kepada orang-orang yang melakukan amal kebajikan itu hasil dari
perbuatan mereka, dengan cara member balasan kepada mereka.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
1.
Orang yang diberi zakat bertujuan untuk
memenuhi kebutuhannya.
2.
Orang yang diberi zakat dengan
tujuan untuk kemaslahatan bagi Islam dan muslimin
3.
Sedekah dan zakat membersihkan
diri orang yang menunaikannya dari sifat-sifat kikir, serakah dan cinta harta
yang sangat berlebihan, yang sering menghalangi mereka dari menunaikan
perintah-perintah agama, dan jihad.
4.
Allah Swt senantiasa akan
menerima taubat hamba-Nya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan Dia akan
menerima pula amal hamba-Nya yang berupa sedekah ataupun zakat yang ditunaikan
dengan penuh keimanan dan keikhlasan.
5.
Allah Swt akan melihat
amalan-amalan hamba-Nya untuk menilainya. Dan Rasulullah Saw juga melihatnya,
untuk menunjangnya dengan doa bagi orang-orang yang bertaubat dan berbuat
kebaikan-kebaikan itu. Dan kaum muslimin juga melihat amalan kebajikan yang
dilakukan oleh seseorang untuk dicontoh dan ditiru.
6.
Pada hari kiamat, Allah Swt akan
memberitahukan kepada orang-orang yang melakukan amal kebajikan itu hasil dari
perbuatan mereka, dengan cara memberi balasan kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar