Senin, 24 Maret 2014

Al-Qur'an dan Kerja

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Bekerja adalah kewajiban bagi setiap muslim. Sebab dengan bekerja setiap muslim akan mengaktualisasikan kemuslimannya sebagai manusia, ciptaan Allah yang paling sempurna dan mulia di muka bumi ini. Jika setiap muslim bekerja yang baik untuk mengaktualisasikan kemuslimannya sebagai makhluk Allah maka ia sudah melakukan ibadah kepada-Npa. Karena setiap pekerjaan bsik yang dilakukan muslim karena Allah, berarti ia sudah berjihad di jalan Allah.
Sebuah jihad tentu memerlukan motivasi, dan motivasi membutuhkan pandangan hidup yang jelas dalam memandang sesuatu, yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi umat muslim, karena di dalamnya mengandung semua aspek kehidupan umat muslim termasuk masalah kerja. Maka seorang muslim yang bekerja harus melakukan pekerjaan yang dibolehkan dalam Al-Qur’an.
Berdasarkan Pedoman Al-Qur’an tersebutlah akan menciptakan  etika kerja dalam Islam, Lalu bagaimanakah sebenarnya etika seorang muslim dalam melakukan pekerjaannya.

B.  Rumusan Masalah
1.    Pengertian Kerja
2.    Kerja Menurut Al-Qur’an
3.    Etika Kerja Muslim
4.    Sikap Kerja Keras



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Kerja
Pada zaman dahulu kerja dipahami hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti pangan, sandang dan papan. Sejalan dengan peradabannya yang masih sederhana, tujuan kerja bagi manusia hanyalah untuk menjaga kelangsungan hidup. Pada masa itu kebutuhan hidup manusia tidak menjadi persoalan yang serius karena alam menyediakan semuanya dan jumlah manusia relatif sedikit.
Persoalan mulai muncul ketika jumlah penduduk terus bertambah dan alam tidak lagi mampu menyediakan kebutuhan hidup manusia, kalaupun ada, kebutuhan tersebut tidak cukup memadai sehingga manusia pun berupaya untuk memproduksinya sendiri. Disinilah kerja menjadi persoalan serius bagi manusia, karena tidak semua manusia mampu menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri. Dan ternyata kebutuhan manusia tidak hanya sebatahan kebutuhan primer, manusia harus memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier.
Pada zaman modern manusia bekerja memiliki bebrapa tujuan, yaitu:
1.    Memenuhi kebutuhan primer seperti makan, minum, rumah dan pakaian.
2.    Memenuhi kebutuhan sekunder seperti rekreasi, memilik barang-barang mewah, kesehatan dan pendidikan.
3.    Mememnuhi kebutuhan tersier seperti ingin gengsi,terlihat mewah, aksesoris-aksesoris dan lain-lain.
4.    meneguhkan jati diri sebagai manusia.
Hampir setiap sudut kehidupan kita akan menyaksikan begitu banyak orang yang bekerja. Para salesman yang hilir mudik mendatangi toko dan rumah-rumah, para guru yang tekun berdiri di depan kelas, polisi yang mengatur lalu lintas dalam selingan hujan dan panas terik serta segudang profesi lainnya. Mereka semua melakukan kegiatan (aktivitas), tetapi lihatlah bahawa dalam setiap aktivitasnya ituada sesuatu yang dikejar, ada tujuan serta usaha (ikhtiar) yang sangat bersungguh-sungguh untuk mewujudkan aktivitasnya tersebut mempunyai arti.
Walau demikian, tidaklah semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai pekerjaan. Karena didalam makna pekerjaan terkandung tiga aspek yang harus dipenuhi secara nalar, yaitu:
1.    Bahwa setiap aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan tanggung jawab (motivasi).
2.    Bahwa apa yang dilakukan tersebut dilakukan karena kesengajaan, sesuatu yang direncanakan, karenanya terkandung di dalamnya suatu gabungan rasa dan rasio.
3.    Bahwa yang dilakukan itu, dikarenakan adanya sesuatu arah dan tujuan yang luhur.[1]
Nurcholis Majid mengungkapkan, kerja dalam pandangan Islam adalah mode of existence (bentuk keberadaan). Harga manusia sangat ditentukan oleh amal atau kerja yang dilakukannya. Jika ia melakukan sesuatu pekerjaan yang baik dengan penuh kesungguhan, ia akan mendapatkan balasan yang baik pula di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, Jika ia melakukan pekerjaan yang buruk, maka ia akan memperoleh balasannya. Lebih dari itu harga kemanusiaannya menjadi turun.
Atas dasar pemikiran tersebut dalam Islam kerja dipandang sebagai ibadah. Sejatinya seorang muslim yang bekerja keras hruslah berangkat dari kesadarannya bahwa kerja tersebut merupakan ibadah. Ini tidak berarti bahwa seseorang dilarang untuk mengharapkan reward (penghargaan) baik materil maupun nonmateril seperti gaji atau penghasilan, karier dan kedudukan yang lebih baik serta pujian Dn sebagainya.




B.  Kerja Menurut Al-Qur’an
Di dalam kaitan dengan kerja, Al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif.
Di dalam Al-Qur’an ditemukan setidaknya ada dua kata kunci untuk menjelaskan konsep kerja dalam pandangan Islam yaitu amal dan sun’. Kedua kata tersebut diungkap dalam Al-Qur’an lebih kurang 602 kali, suatu jumlah yang cukup besar. Kata taqwa (al-taqwa) dan kata-kata kerja serta kata-kata benda yang dikaitkan dengannya memiliki tiga arti, menurut Abdullah Yusuf Ali pertama, takut kepada Allah, merupakan awal dari ke’arifan. Kedua, menahan atau menjaga lidah, tangan dan hati dari segala kejahatan. Ketiga, ketaqwaan, ketaatan dan kelakuan baik.[2] , sedangkan sun’ adalah membuat atau memproduksi sesuatu dengan mengolah bahan baku atau mengolah ulang bahan yang sudah jadi. Salah satu bentukan dari kata sun’ adalah sina’áh yang berarti pabrik.
Di dalam Al-Qur’an ayat tentang kerja seluruhnya yang berjumlah 602 kata, bentuknya sebagai berikut:
1.    Terdiri 22 kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2.    Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3.    Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4.    Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5.    Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhuma’maaluna’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur: 21.
6.    Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7.    Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman: “…barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh…” (Al-Kahfi: 110)
Ada juga ayat Al-Qur’an yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya firman Allah SWT kepada Nabi Daud as.
Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam surah al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  
Artinya: “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10)
Selain itu, didalam Al-Qur’an juga banyak terdapat contoh-contoh tentang kerja. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, ayat cukup populer yang berbunyi “Barang siapa yang bertaqwa niscaya Allah akan memberinya rezeki secara tidak disangka-sangka.”. Sekilas taqwa dalam ayat ini memang diartikan sebatas ibadah mahdah  saja, bersujud dan berdo’a di atas sajadah lalu rezeki yang tak disangka-sangka akan turun dari langit. Namun inti taqwa di sini adalah upaya keras untuk menerapkan nilai etika dalam bisnis secara menguntungkan, yakni dibarengi oleh aspek-aspek skill (Kemampuan).

Kedua, perekaman Al-Qur’an dalam satu surat utuh tentang suksesnya Yusuf as. menjadi perdana menteri (Mesir Kuno) yang diawali dengan penderitaan  memilukan ketika beliau mendapat jabatan terhormat , Al-Qur’an mengatakan bahwa, kesenangan atau kemudahan itu dipetik setelah lulus melewati kesulitan, sesungguhnya di dalam kesulitan ada kemudahan.
Ketiga, dalam surat Al-Baqarah ayat 25 dikatakan bahwa kelak para penghuni sungai ketika memakan buah-buahan surga akan mengatakan bahwa, “mereka di duni juga pernah mencicipi buah-buahan serupa.”. Pedagang yang jujur oleh sebuah hadis digolongkan ke dalam jajaran para nabi. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang yang jujur pun, satu di antara yang akan masuk surga,tidak hanya akan mendapatkan pahala akhirat tapi bahkan kenikmatan duniawi.
Keempat, para nabi adalah profesional. Al-Qur’an sering menyebutkan profesi atau jenis pekerjaan para nabi, misalnya Nabi Daud sebagai pandai besi, Nabi Musa sebagai pengembala, Nabi Sulaiman sebagai raja, dan tadi Nabi Yusuf sebagai menteri. Seandainya etika yang harus ada pada diri nabi akan selalu merugikan, tentunya profesi mereka tidak akan sukses. Tapi kenyataannya sebaliknya. Mereka sukses sebagai nabi juga sebagai pekerja.
Demikian juga dengan para sufi, mereka biasanya mempunyai keahlian atau profesi tertentu. Junaid Al-Baghdadi misalnya dijuluki “al-qawariri”, si penjual barang-barang pecah. Fariduddin al-Aththar disebut al-Aththar atau tukang minyak wangi. ada juga yang dijuluki si pemintal kapas atau penenun. Ini semua menunjukkan bahwa nilai-nilai etis tidak selalu bertentangan dengan keuntungan bisnis, asalkan dijalankan sesuai dengan skill  nilai etis itu.[3] Dalam praktek mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, terdapat empat macam pekerja, yaitu:
1.    Al-Hirafiyyin: mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2.    Al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan pegawai negeri.
3.    Al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang keliling.
Al-Muzarri’un: para petani.

C.  Etika Kerja Muslim
Etika bagi seseorang terwujud dalam kesadaran moral (moral consciousness) yang memuat keyakinan ‘benar dan tidak’. Perasaan yang muncul bahwa ia akan salah bila melakukan sesuatu yang diyakininya tidak benar berangkat dari norma-norma moral dan persaan ­self-respect (menghargai diri) bila ia meninggalkannya. Tindakan yang diambil olehnya harus ia pertanggung jawabkan pada diri sendiri. Begitu juga dengan sikapnya terhadap orang lain bila pekerjaan tersebut mengganggu atau sebaliknya mendapat pujian.
Secara terminologis arti etika sangat dekat dengan pengertiannya dengan istilah Al-Qur’an al-khuluq. Untuk mendeskripsikan konsep kebajikan, Al-Qur’an menggunakan sejumlah terminologi sebagai berikut: khair, bir, qist, haqq, ma’ruf, dan taqwa.
Jika merujuk kepada Al-Qur’an akan ditemukan beberapa tuntutan ajaran Islam tentang etika kerja diantaranya adalah:
1.    Niat yang baik dan ikhlas.
2.    Tidak melalaikan kewajiaban kepada Allah SWT.
3.    Suka sama suka (tidak ada keterpaksaan).
4.    Akhlak yang baik.
5.    Tidak curang dan tidak pula memberi mudharat kepada orang lain.
6.    Menerapkan administrasi dan manajemen yang baik.
7.    Obyek usaha haruslah yang halal.

D.  Sikap Kerja Keras
Sikap kerja keras dan berusaha untuk mengubah nasib, rajin, dan sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan merupakan anjuran dan kewajiban bagi insan yang beragama Islam. Agama merupakan motivasi dan sumber gerak serta dinamika dalam mewujudkan etos kerja. Islam menyuruh manusia untuk bekerja dan mengubah nasibnya sendiri. Manusia wajib berusaha dan berikhtiar untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masing-masing. Memang hanya manusia yang mau berusaha, bekerja keras, dan sungguh-sungguh yang akan meraih prestasi, baik kesuksesan hidup di dunia maupun di akhirat. Ada beberapa sikap mental yang mencerminkan sikap ini antara lain:
1.    Proaktif, yaitu sikap yang ingin mengubah lingkungan, mengubah keadaan yang ada, atau membuat suasana lebih kondusif. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar Ra’d ayat 11 berbunyi:
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ̍øBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ  
Artinya:”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”  (Q.S Ar-Ra’d: 11)
2.    Memulai suatu pekerjaan dengan setelah sempurna dalam pikiran.
Kegiatan seperti ini kegiatan yang mengacu kepada visi, misi dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa pekerjaan tersebut tergantung niat masing-masing. Usaha itu akan dipengaruhi kesungguhan mengerjakan dan niatnya sesuai denga Firman Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut:
br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ  
Artinya: Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Q.S. AnNajm:39)
Dengan keterangan ayat diatas maka jelaslah bahwa manusia mempunyai keharusan untuk berusaha dan mampu mengubah kondisi sendiri dari kemunduran dan keterbelakangan untuk menuju kepada kemajuan. Suatu prestasi kerja dan keberuntungan tidak dapat diraih dengan mudah oleh seseorang, melainkan melalui usaha dan kerja keras yang dibarengi idealisme dan optimisme yang tinggi. Bekerja keras bagi manusia merupakan keharusan dan panggilan hidup manusia. Jika kita berusaha dengan baik serta diiringi dengan hati yang ikhlas karena Allah maka hal itu termasuk ibadah dan perbuatan yang berpahala.
3.    Selesai mengerjakan suatu pekerjaan beralihlah kepada yang lain
Kita harus selalu mengatur waktu untuk mengerjakan pekerjaan sehingga tidak ada waktu yang terbuang, membuat nilai waktu itu maksimal, baik untuk urusan dunia ataupun akhirat. Karena waktu itu laksana pedang apabila kita tidak menggunakannya ia akan memotong kita tanpa menunggu, waktu tak pernah berhenti. Sesuai Firman Allah dalam surat Al-Insyiroh ayat 6 dan 7 berbunyi:
#sŒÎ*sù |Møîtsù ó=|ÁR$$sù ÇÐÈ   4n<Î)ur y7În/u =xîö$$sù ÇÑÈ  
Artinya: Maka apabila telah menyelesaikan suatu urusan, kerjakanlah urusan yang lain, dan kepada Tuhanmu gemar dan berharaplah! ( Al-Insyiroh ayat 7-8 )
4.    Mewujudkan Sinergi, saling bekerjasama mencapai tujuan.
Kejelekan yang terorganisasi bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisasi. Itu rahasia mengapa Rasulullah mendidik umat untuk selalu berjamaah dalam sholat. Pekerjaaan yang berat bila digotong bersama-sama akan menjadi ringan, pekerjaan yang susah akan menjadi mudah.



5.    Sibuk memperbaiki diri sendiri, tidak memiliki waktu untuk mencela orang lain.
Dalam Islam setiap perbuatan manusia mempunyai nilai positif bagi kehidupan manusia. Karena itu setiap muslim tatkala melakukan kegiatan, harus ada nilai tambah yang bermanfaat, baik bagi dirinya ataupun orang lain. Inilah yang dinamakan amal shaleh. Ratusan kali Al-Qur’an mengulang-ulang kalimat amal shaleh, hal ini menunjukkan betapa kerja keras mendapatkan perhatian yang sangat penting bagi kehidupan setiap muslim.
Al-Qur’an menggambarkan bahwa manusia memiliki peran besar yang dapat membawa kebangkitan dan keruntuhan jalannya sejarah. Peran penting ini didasari karena manusia memiliki unsur-unsur yang menyatu luar dan dalam sehingga perubahan sejarah dan kehidupan manusia sendiri berada dipundaknya. Unsur luar adalah jasmani dan bentuk lahiriah, sedangkan unsur dalam adalah perpaduan antara pandangan hidup, tekad, kehendaknya. Meskipun kedua unsur itu harus sama mendapat pembinaan, namun Al Qur’an menekankan bahwa unsur dalam harus dapat perhatian lebih. Allah Berfirman dalam Q.S. Ar. Ra’ad ayat 11 yang artinya: ”Sesungguhnya Allah tidak akan merobah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka
Berdasarkan ayat ini, keberhasilan atau kegagalan tergantung pandangan hidup yang dimilikinya. Ada yang terbatas, sempit dan sementara namun ada juga yang luas dan jauh kedepan. Bagi muslim diajarkan untuk memiliki pandangan hidup yang mendunia dan berwawasan keakhiratan.









BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.    Kerja dalam pandangan Islam adalah mode of existence (bentuk keberadaan).
2.    Al-Qur’an mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif.
3.    Di dalam Al-Qur’an ditemukan setidaknya ada dua kata kunci untuk menjelaskan konsep kerja dalam pandangan Islam yaitu amal dan sun’. Kedua kata tersebut diungkap dalam Al-Qur’an lebih kurang 602 kali
4.    Jika merujuk kepada Al-Qur’an akan ditemukan beberapa tuntutan ajaran Islam tentang etika kerja diantaranya adalah:
a.    Niat yang baik dan ikhlas.
b.    Tidak melalaikan kewajiaban kepada Allah SWT.
c.    Suka sama suka (tidak ada keterpaksaan).
d.   Akhlak yang baik.
e.    Tidak curang dan tidak pula memberi mudharat kepada orang lain.
f.     Menerapkan administrasi dan manajemen yang baik.
g.    Obyek usaha haruslah yang halal.
5.    Sikap kerja keras dan berusaha untuk mengubah nasib, rajin, dan sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan merupakan anjuran dan kewajiban bagi insan yang beragama Islam






[1] Toto Tasmara,Etos Kerja Pribadi Muslim.(Jakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.1995). hlm. 26-27.
[2] Syahrin Harahap, Islam Dinamis.(Yogyakarta: Tiara Wacana.1996).  hlm. 110.
[3] Faisal Badroen,Etika Bisnis dalam Islam.(Jakjarta: Kencana.2012). hlm. 136-137

Syarat Account Officer

Syarat Account Officer Ideal Seorang Account Officer (AO) adalah orang yang melakukan pemasaran dan penjualan kredit perbankan . d...