Sabtu, 30 November 2013

Hadist tentang Wakaf

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia diciptakan selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia mempunyai berbagai macam hak dan kewajiban. Begitu pula sebagai makhluk sosial, manusia hendaknya dapat menjaga hubungan baik dengan sesama, menumbuhkan rasa kepedulian sosial serta rasa tolong menolong. Karena dalam kehidupan, manusia selalu membutuhkan bantuan dari orang lain.
Selain itu, manusia diciptakan dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda dan saling melengkapi. Oleh karena itu, dalam Islam dianjurkan untuk melakukan wakaf sebagai salah satu bentuk taqarrub kepada Allah dalam rangka mempersempit kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin
Islam telah mengatur hal-hal tersebut, baik dalam syarat dan rukun maupun dalam pelaksanaannya. Namun dalam kenyataannya masyarakat kita banyak yang belum mengetahui hal tersebut dan melakukan wakaf sesuai dengan pemahaman mereka. Sebagai umat Islam, kita hendaknya mengetahui dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan al-Qur’an dan hadist, oleh karena itu pengetahuan akan wakaf sangat diperlukan sebelum kita mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
B.     Rumusan Masalah
1.      Hadist
2.      Arti Kata Perkata
3.      Biografi Perawi
4.      Penjelasan
a.       Pengertian wakaf
b.      Rukun dan syarat wakaf
c.       Macam-macam wakaf
d.      Menjual wakaf
e.       Hikmah wakaf
BAB II
PEMBAHASAN
WAKAF
A.    Hadis
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أصَا بَ عُمَرَ أرْضًا بِخَيْبَرَ فَأتَى النَبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنِّي أصَبْتُ أرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قُطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَر أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُورَثُ  قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَر فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرَّقَابَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَبْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيْهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوَّلٍ فِيْهِ وَفِي لَفِظٍ : غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ (رَوَهُ الْبُخَرِ وَمُسْلِمُ)
Dari Abdullah bin Umar, dia berkata, Umar mendapatkan bagian tanah di Khaibar, lalu dia menemui Nabi SAW untuk meminta pendapat tentang tanah itu. Dia berkata, ‘wahai Rasululllah, sesungguhnya aku mendapat bagian tanah di Khaibar, dan aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga dari tanah ini. Maka apa yang engkau perintahkan kepadaku tentang tanah itu?’ Beliau menjawab, ‘jika engkau menghendaki, maka engkau dapat menahan tanahnya dan engkau dapat menshadaqahkan hasilnya’. Abdullah bin Umar berkata, ‘Maka Umar menshadaqah kan hasilnya, hanya saja tanahnya tidak dijual atau diwariskan’. Dia berkata, ‘Maka Umar menshadaqahkan hasilnya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak wanita, di jalan Allah, orang dalam perjalanan, orang lemah, dan tidak ada salahnya bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya secara ma’ruf, atau untuk memberi makan teman, selagi tidak mengambil secara berlebihan. Dalam suatu lafazh disebutkan, ‘Selagi bukan untuk ditumpuk’.”[1]



B.     Arti Kata Perkata
 أصَبْتُ          = Aku mendapat                               
 تَصَدَّقْتَ        = engkau menshadaqahkannya
أرْضًا           = tanah                                               
يُبَاعُ             = dijual                                    
مَالًا             = harta                                                
يُورَثُ          = diwariskan                               
حَبَسْتَ          = engkau menahan                              
الْفُقَرَاءِ           = orang-orang fakir                
الْقُرْبَى           = kerabat                                             
الرَّقَابِ          = memerdekakan                   
وَفِي سَبِيْلِ اللهِ  = di jalan Allah                             
وَبْنِ السَّبِيْلِ  = orang dalam perjalana               
الضَّيْفِ       = orang lemah                                   
جُنَاح          = salah                                        
يَأْكُلَ           = memakan                                         
يُطْعِمَ           = memberi makan                  
مُتَمَوَّلٍ         = berlebihan                                       
مُتَأَثِّلٍ          = ditumpuk     
           
C.    Biografi Perawi
Abdullah bin Umar atau biasa disebut juga dengan “Ibn Umar” (anak Umar bin al-Khaththab) lahir pada tahun 10 sebelum hijriah, setelah peristiwa pengangkatan Rasul SAW dan meninggal pada tahun 74 hijriah. Ia masuk Islam bersama ayahnya pada usia 10 tahun, dan termasuk salah seorang dari empat sahabat yang mendapat gelar “Abdullah”. Menurut Malik bin Anas dan Ibn Syihab az-Zuhri, ia mengetahui sepenuhnya berbagai urusan yang dihadapi Rasul SAW dan para sahabatnya.
Dalam kehidupan sehari-harinya menurut pandangan para ulama, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, bahwa pribadi Ibn Umar mencerminkan ia seorang ulama yang hanya mengharapkan ridha Allah SWT semata, sebagaimana dikatakan Ibn Mas’ud, Jabir, dan Ibn al-Musayyab. Menurut Ibn Syihab az-Zuhri, dikalangan para tabi’in tidak pernah ada seorang pun yang berpaling dari pandangan-pandangannya.
Hadis-hadis yang diterimanya, selain langsung dari Rasul SAW, Ia juga menerima dari para sahabat lainnya, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, A’isyah, Hafshah (saudaranya), dan Abdullah bin Mas’ud. Para tabi’in yang meriwayatkan hadis daripadanya banyak sekali. Di antaranya, ialah Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan al-Basri, Ibn Sirin, Nafi’, Mujahid, Thawus, dan Ikrimah. Dalam periwayatan hadis di kalangan para sahabat ia menduduki ranking kedua dengan jumlah hadis yang diriwayatkannya, sebanyak 2.630 hadis.
Di antara silsilah sanad yang paling shahih, yang sampai kepada Abdullah bin Umar, ialah melalui Malik bin Anas dari Nafi’. Sedang yang paling lemah, ialah melalui Muhammad bin Abdullah bin al-Qasim dari ayahnya kemudian dari kakeknya. Disamping ia menghafal hadis-hadis yang diterimanya, ia juga menuliskannya dalam beberapa risalah-nya. Hal ini diantaranya diketahui oleh Nafi’. Di antara hadis-hadis yang diriwayatkannya ada juga yang ditulis oleh para ulama yang menerimanya, seperti Sa’id bin Jubair, Abd al-Aziz bin Marwan, Abd al-Malik bin Marwan, dan Nafi’ (maula­-nya).[2]
D.    Penjelasan
1.      Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), al-man’u (mencegah).[3] Wakaf atau dalam bahasa Arab diistilahkan dengan wakaf secara gramatikal berarti “menahan”. Sedangkan menurut istilah syara’ perkataan wakaf berarti “menahan harta dan memberikan manfaatnya pada jaln Allah SWT.
Syafi’iyah  mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa member manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah.[4]

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1997 tentang Perwakafan Tanah Milik (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3017) dalam pasal 1 ayat 1 dikemukakan bahwa: “wakaf adalah perbuatan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah milik (Peraturan Pemerintah ini memang khusus mengatur perwakafan tanah milik) dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari rumusan-rumusan pengertian yang dikemukakan diatas dapatlah ditemukan bahwa wakaf tersebut adalah merupakan suatu tindakan/perbuatan hukum berupa memisahkan dari harta kekayaan, dan harta yang dipisahkan tersebut dilembagakan (menjadi harta yang berdiri sendiri) dan tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan pewakaf serta digunakan untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya pada jalan Allah SWT.[5]
2.      Rukun dan Syarat Wakaf
Adapun yang menyangkut rukun wakaf dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Yang berwakaf
Adapun yang menjadi syarat pokok orang yang berwakaf adalah:
1)      Berhak berbuat kebaikan
2)      Atas kehendak sendiri
Berarti orang yang berwakaf haruslah orang yang berhak untuk melakukan sesuatu perbuatan, dengan kata lain orang yang cakap bertindak menurut hukum, yaitu orang yang dewasa dan sehat akalnya serta oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum (misalnya orang gila).
H. Sulaiman Rasyid menafsirkan “berhak berbuat kebaikan” tersebut, juga dapat dilakukan oleh orang di luar Islam, dengan demikian orang di luar agama Islam pun (non Islam) juga dapat memberikan wakaf.
Sedangkan yang dimaksud dengan “kehendak sendiri”, bahwa seseorang tidak dapat dipaksa agar dia mewakafkan harta miliknya. Dengan demikian orang yang dipaksa untuk melakukan wakaf adlah tidak sah, karena tidak memenuhi syarat.
b.      Ada obyek yang diwakafkan
Obyek atau benda yang diwakafkan tersebut mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu, atau dengan kata lain tidak semua benda dapat diwakafkan. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1)      Kekal zatnya; maksudnya barang yang diwakafkan tersebut tidak habis sekali pakai, kalaupun benda tersebut diambil manfaatnya, benda tersebut tidak mengalami kerusakan.
2)      Benda yang diwakafkan merupakan milik atau kepunyaan orang yang mewakafkan.
c.       Penerima wakaf
Penerima wakaf hendaklah orang yang sudah dapat melakukan perbuatan hukum, dengan kata lain dewasa, berakal, dan tidak terhalang oleh hukum untuk melakukan suatu perbuatan hukum
d.      Lafaz
Adapun yang dimaksud dengan lafaz adalah ucapan dari orang yang berwakaf bahwa dia mewakafkan untuk kepentingan tertentu. Misalnya; saya   mewakafkan tanah ini untuk kepentingan Mesjid. Apabila sudah dilafazkan seperti itu maka tanah tersebut hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan pembangunan Mesjid, atau dengn kata lain peruntukannya tidak dapatdialihkan lagi.[6]
3.      Macam-macam Wakaf
Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian:
a.       Wakaf ahli (khusus)
Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus. Maksud wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain. Misalnya, seseorang mewakafkan buku-buku yang ada diperpustakaan pribadinya untuk turunannya yang mampu menggunakan.
Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menuikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Masalah yang mungkin akan timbul dalm wakaf in I apabila turunan atu orang-orang yang ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf, mungkin juga yang disebut atau yang ditunjuk untuk memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah. Bagaimana nasib harta wakaf itu?
Bila terjadi hal-hal tersebut, dikembalikan pada syarat umum, yaitu wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu. Dengan demikian, meskipun orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah, buku-buku tersebut tetap berkedudukan sebagai benda wakaf yang digunakan oleh keluarga yang lebih jauh atau bila tidak ada lagi digunakan oleh umum.
b.      Wakaf khairi (umum)
Wakaf khairi ialah wakaf yang sjak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang benar-benar sejalan dengan amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal dunia, selama harta masih dapat diambil manfaatnya.[7]
4.      Menjual Wakaf
Tujuan wakaf hanya untuk mengambil manfaat, benda asalnya masih tetap tidak boleh dijual, diberikan atau dipusakakan. Tetapi apabila benda tersebut, tidak bermanfaat atau kurang bermanfaat atau mengganggu jalan, maka timbul beberapa pendapat.
Menurut pendapat mazhab Ahmad bin Hanbali, apabila manfaat wakaf tidak dapt digunakan, wakaf tersebut boleh dijual dan uangnya dibelikan kepada gantinya. Demikian juga mengganti mesjid atau merubahnya juga memindahkan mesjid dari satu tempat ke tempat lain atau menjual mesjid, uangnya dibelikan untuk membangun mesjid di tempat lain. Hal ini berdasarkan perbuatan Umar bin Khattab r.a; yang telah mengganti mesjid Kuofah yang lama dengan mesjid yang tempatnya pun di pindahkan, karena  tempat yang lam telah menjadi pasar.
Syekh Ibnu Taimiyah berkata; “Sesungguhnya yang menjadi pokok disini untuk menjaga kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan. Allah SWT telah menyuruh Rasul-Rasul-Nya untuk menyempurnakan kemaslahatan dan melnyapkan kerusakan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
tA$s%ur…. 4ÓyqãB ÏmŠÅzL{ šcr㍻yd ÓÍ_øÿè=÷z$# Îû ÍGöqs% ôxÎ=ô¹r&ur Ÿwur ôìÎ6­Gs? Ÿ@Î6y tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÊÍËÈ  
Artinya: “Kata Musa as kepada saudaranya Harun. Hendaklah engkau gantikan saya untuk menjaga kaum saya dan jalankanlah kemaslahatan untuk mereka janganlah sekali-kali engkau mengikuti orang-orang yang merusak ". (Q.S Al-A’raf : 142)[8]
5.      Hikmah Wakaf
Jika kita menggali syari’at Islam, akan ditemukan bahwa tujuan syari’at  Islam adalah untuk manusia.wakaf itu sendiri termasuk dalam golongan sedekah yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pemahaman Islam terhadap wakaf berpijak  pada pemahaman islam terhadap kepemilikan serta fungsi social harta kekayaan.
Islam berpedoman bahwa segala kepemilikan, termasuk harta, adalah milik Allah. Dia mengamanatkan kepada manusia untuk untuk mengelolanya. Islam memberikan keleluasaan manusia untuk mengelola hartanya dan mengeluarkan sebagai infak sesuai yang digariskan agama.
Islam menyediakan beragam cara untuk membelanjakan harta kekayaan dijalan kebaikan. Islam mengajarkan kepada manusia untuk saling tolong menolong dan menjaga interaksi antarmanusia. Wakaf , sebagai bentuk pembelanjaan harta dijalan kebajikan merupakan satu alternatif yang ditawarkan oleh Islam sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.[9]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), al-man’u (mencegah).
2.      Wakaf merupakan suatu tindakan/perbuatan hukum berupa memisahkan dari harta kekayaan, dan harta yang dipisahkan tersebut dilembagakan (menjadi harta yang berdiri sendiri) dan tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan pewakaf serta digunakan untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya pada jalan Allah SWT.
3.      Rukun wakaf : yang berwakaf, obyek akad, penerima wakaf dan lafazh.
4.      Wakaf terbagi dua yaitu : wakaf ahli (khusus) dan wakaf khairi (umum)
5.      Wakaf tidak boleh dijual, diberikan atau dipusakakan. Tetapi apabila benda tersebut, tidak bermanfaat atau kurang bermanfaat atau mengganggu jalan, maka boleh dijual tetapi harus diganti.

B.     Saran
Pemakalah menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih terdapat kekurangan, oleh sebab itu, pemakalah sangat membutuhkan saran dari pembaca, terutama dari Bapak Dosen selaku pembimbing dalam mata kuliah ini, untuk dijadikan acuan dalam pembuatan makalah di kemudian hari.




[1] Mardani,Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah.(Jakarta: Rajawali Pers.2011). Hal. 154-155
[2] Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis.(Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama.2001). Hal. 199-200
[3] Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah.(Jakarta: PT. Rajawali Pers.2011) Hal. 239
[4] Andri Soemitra,Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.(Jakarta:Kencana.2010). Hal. 434
[5] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis,Hukum Perjanjian dalam Islam.(Jakarta: Sinar Grafika.2004) Hal. 104
[6] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Op.cit. Hal.107-110
[7] Hendi Suhendi,Ibid. Hal. 244-245
[8] Ibrahim Lubis,Ekonomi Islam Suatu Pengantar II.(Jakarta Pusat: Kalam Mulia.1995). Hal. 726-727
[9] Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Hukum Wakaf.(Jakarta:IIMaN.2004). Hal. 82-83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarat Account Officer

Syarat Account Officer Ideal Seorang Account Officer (AO) adalah orang yang melakukan pemasaran dan penjualan kredit perbankan . d...