Sabtu, 30 November 2013

Salam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-untungan). Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa: Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut. Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya: Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga.

B.     Rumusan masalah
1.      Pengertian salam
2.      Landasan syariah
3.      Rukun dan syarat salam
4.      Perbedaan salam dengan ijon
5.      Aplikasi dalam perbankan
6.      Tujuan pembiayaan salam






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Salam
Salam berasal dari kata As-salaf yang artinya pendahuluan, karena pemesan barang menyerahkan uangnya dimuka. Para fuqahah menamainya al-mahawi’ij (barang-barang mendesak) karena ia sejenis jual beli yang dilakukan mendesak walauoun barang yang dioerjualbelikan tidak ada di tempat. “mendesak” dilihat dari sisi pembeli karena ia sangat membutuhkan barang tersebut di kemudian hari, sementara dari sisi penjual, ia sangat membutuhkan uang tersebut.[1]
Dalam praktik perbankan, ketika barang yang telah diserahkan kepada bank, bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri dengan secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah dengan keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan dan jangka waktu pembayaran.[2]
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan telah disepakati dan tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian  komoditas pertanian pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan. Landasan syari’ah salam adalah Fatwa DSN MUI NO.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam.[3]

 Salam dalam praktek bank syariah yaitu suatu jenis jual beli dimana pembayaran atas pembelian suatu barang dilakukan da awal sedangkan barang yang akan dibeli diserahkan kemudian pada waktu yang telah disepakati di masa depan. Dalam aplikasi perbankan dikenal istilah salam pararel yaitu jual beli yang melibatkan tiga pihak antara lain pembeli, bank dan supplier  (pemasok).[4]
B.     Landasan Syariah
1.      Al-Qur’an
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ  ……(٢٨٢)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…..” (al-Baqarah: 282)

2.      Hadits
مَنْ اَسْلَفَ فِيْ شَيْءٍ َففِيْ كَيْلٍ مَعْلَومٍ َوَوْزنٍ مَعْلُوْمٍ اِلىَ اَجَلٍ مَعْلُوْمٍاحرجه الاءمة السنة(
Artinya: “barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui
3.      Fatwa DSN MUI NO.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam.

C.     Rukun dan Syarat Salam
1.      Rukun Ba’i As-Salam
Pelaksanaan ba’i as-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini.
a.       Muslam( المسلم ) atau pembeli
b.      Muslam ilaih (المسلم اليه ) atau penjual
c.       Modal atau uang
d.      Muslam fiihi (المسلم فيه ) atau barang
e.       Sighat (الصيغة ) atau ucapan

2.      Syarat Ba’i as-Salam  
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, ba’I as-salm juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan dua diantara rukun-rukun terpenting, yaitu modal dan barang.
a)      Modal Transaksi Ba’I as-Salam
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam modal ba’I as-salam adalah sebagai berikut:
Ø  Modal Harus DiketahuiBarang yang akan disuplai harus diketahui jenis,  kualitas, dan jumlahnya. Hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus dalam bentuk uang tunai.
Ø  Penerimaan Pembayaran Salam Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak. Hal tersebut dimaksudkan agar pembayaran yang diberikan oleh al-muslam (pembeli) tidak dijadikan sebagai utang penjual. Lebih khusus lagi, pembayaran salm tidak bisa dalm bentuk pembebasan utang yang harus dibayar dari muslam ilaih (penjual). Hal ini untuk mencegah praktek riba melalui mekanisme salam.
b)      Al-Muslam Fiihi (Barang)
Di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-muslam fiihi atau barang yang ditransaksikan dalam ba’i as-salam adalah sebagai berikut:
1)      Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
2)      Harus bias diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebutr (misalnya beras atau kain), tentang klasifikasi kualitas (misalnya kualitas utama, kelas dua, atau eks ekspor), serta mengenai jumlahnya.
3)      Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
4)      Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi madzhab Syafi’i membolehkan penyerahan segera.
5)      Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang.
6)      Tempat penyerahan. Pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk tempat yang disepakati dimana barang harus diserahkan. Jika kedua pihak yang berkontrak tidak menentukan tempat pengiriman, barang harus dikirim ke tempat yang menjadi kebiasaan, misalnya gudang si penjual atau bagian pembelian si pembeli.
7)      Penggantian muslam fiihi dengan barang lain. Para ulama melarang penggantian muslam fiihi dengan barang lainnya. Penukaran atau penggantian barang as-salam ini tidak diperkenankan, karena meskipun belum diserahkan, barang tersebut tidak lagi milik si muslam alaih, tetapi sudah menjadi milik muslam (fidz-dzimah). Bila barang tersebut diganti dengan barang yang memilki spesifikasi dan kualitas yang sama. meskipun sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya. Hal demikian tidak dianggap sebagai jual beli, melainkan penyerahan unit yang lain untuk barang yang sama.[5]

D.    Aplikasi Salam di Perbankan Syariah
Ba’i as-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena barang yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebutsebagai simpanan atau inventory, dilakukanlah akad ba’i as-salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada bulog, pedagang pasar induk, atau grosir. Inilah yang dalam perbankan islam dikenal sebagai salam pararel.
Ba’i as-salam juga dapat di aplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal itu berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayarnya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut. Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian mebayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.
Contoh kasus:
Seorang petani yang memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan sebesar Rp. 5.000.000,00 kepada Bank syariah. Pembiayaan tersebut sudah mencakup ongkos bibit dan upah pekerja. Ia berencana menanami sawahnya dengan bibit IR36 yang bila telah digiling menjadi beras dijual di pasar dengan harga Rp.2.000,00/kg. penghasilan sawah biasanya berjumlah 4 ton beras per hektar. Ia akan mengantarkan beras ini selama 3 bulan.

 




                                                                                                                     
 



 Skema Proses Akad Salam[6]
Jawaban
Jumlah pembiayaan yang diajukan oleh petani sebesar Rp.5000.000,00, sedangkan harga beras jenis IR36 dipasar Rp.2.000,00/kg. karenanya, bank bisa membeli dari petani sebanyak 2,5 ton (Rp.5.000.000,00 dibagi Rp.2.000/kg) beras tersebut bisa dijual kepada pembeli berikutnya. Setelah melalui negosiasi, bank menjualnya sebesar Rp.2.400,00/kg, yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp.6.000.000,00 (bila dihitung secara umum, bank mendapat keuntungan jual beli, sebesar 20% margin)
Pada bank-bank Islam yang sudah mapan, seperti di Sudan, Bahrain, dan Negara-negara Timur Tengah lainnya, transaksi dilakukan dengan system salam tunggal. Konsekuensinya bank harus memiliki inventory yang dikelola secara professional agar tidak mengalami kerugian. Bank juga harus menggunakan gudang tempat penyimpanan (warehouse) barang, baik milik sendiri maupun menyewa dari pihak lain. Jadi, dalam hal ini bank bertindak sebagai pedagang yang terjun langsung dalam persainganbisnis komoditi.
Sedangkan Negara-negara yang masih memegang paradigma bank sebagai intermediary institution, dimana bank tidak melakukan transaksi perdaganagn secara langsung, maka mekanisme yang memungkinkan adalah salam parallel. Artinya bank melakukan transaksi salam dengan produsen (salam pertama) jika bank sudah memiliki nasabah sebagai calon pembeli (salam kedua). Bank, dalam hal ini tidak perlu mengoperasikan gudang karena pengiriman barang bisa dilakukan langsung dari produsen kepada pembeli. Dalam praktiknya, bisa saja transaksi antara bank dengan calon pembeli (pemesan) terjadi  terlebih dahulu (salam pertama), kemudian bank mencari produsen untuk memenuhi pesanan tersebut (salam kedua).[7]
E.     Perbedaan Salam dengan Ijon
Banyak orang menyamakan ba’i as-salam dengan ijon, padahal terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak di ukur atau di timbang secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli, sangat bergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah. Adapun transaksi ba’i as-salam mengharuskan adanya dua hal berikut:
1.      Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibni Abbas, “Barang siapa melakukan transaksi salaf (salam), hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula.
2.      Adanya keridhoan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama dalam menyepakati harga.
Untuk memastikan adanya harga yang “fair” ini, pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan pembinaan.[8]
F.     Tujuan Pembiayaan Salam
Pembiayaan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian, perkenunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada umumnya membutuhkan dana untuk modal awal dalam melaksanakan aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan dana pada saat akad. Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar kembali. Dengan melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil manfaat tersebut.[9]
Transaksi salam biasanya digunakan pada industri pertanian. Bahkan, akad salam dapat digunakan untuk membantu petani dengan tiga strategi pendekatan yang dilakukan pemerintah, antara lain sebagai berikut:
1.      Pemerintah membentuk perusahaan pembiayaan syariah, untuk sector pertanian secara khusus dalam bentuk BUMN nonbank. Perusahaan ini bertanggung jawab menyalurkan pembiayaan pada petani, dan kemudian menjual hasil pertanian yang didapat kepada publik atau pemerintah dengan kata lain memperluas peran Bulog, diman bulog difungsikan pula sebagai lembaga pembiayaan petani. Hal yang paling terpenting lembaga ini haruslah amanah.
2.      Pemerintak membentuk bank pertanian syariah. Namun, demikian yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara bank untuk menyimpan hasil pertanian, mengingat ia akan menerima dalam bentuk produk dari petani dan bukan dalam bentuk uang. Untuk itu, perlu ada modifikasi skema salam, dimana bank dapat menunjuk petani yang bersangkutan untuk menjualkan hasil pertaniannya kepasar, kemudian mengembalikan sejumlah uang kepada bank. Petani dapat diberikan komisi tambahan oleh bank karena telah bertindak sebagai agennya.
3.      Melalui penerbitan sukuk. Daerah-daerah surplus pangan dapat menerbitkan sukuk berbasis salam dan daerah-daerah yang kekurangan pangan dapat menginvestasikan dananya untuk membeli sukuk. Daerah surplus pangan akan memiliki modal tambahan, dan daerah minus pangan mendapat kepastia supply pangan.[10]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Salam berasal dari kata As-salaf yang artinya pendahuluan, karena pemesan barang menyerahkan uangnya dimuka.
2.      Salam dalam praktek bank syariah yaitu suatu jenis jual beli dimana pembayaran atas pembelian suatu barang dilakukan da awal sedangkan barang yang akan dibeli diserahkan kemudian pada waktu yang telah disepakati di masa depan.
3.      Ba’i as-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan.
4.      Pembiayaan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian, perkenunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada umumnya membutuhkan dana untuk modal awal dalam melaksanakan aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan dana pada saat akad. Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar kembali.

B.     Saran
Pemakalah menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan, untuk itu pemakalah sangat membutuhkan saran dari peserta diskusi, terutama dari Ibu Dosen pembimbing dalam mata kuliah ini, untuk perbaikan dalam pembuatan makalah di kemudian hari.



[1] Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syari’ah di Indonesia.(Jakarta:Salemba Empat.2009) hal. 196
[2] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta:RajaGrafindo Persada.2010) hal. 99
[3] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. (Jakarta:Kencana.2009) hal. 80.
[4] Ridwan Nurdin, Akad-Akad Fiqh pada Perbankan Syariah di Indonesia. (Banda Aceh: PeNa.2010) hal. 67
[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari teori ke praktik. (Jakarta: Gema Insani.2001). hal. 110
[6] Ascarya,Akad dan Produk Bank Syari’ah.(Jakarta: Rajawali Pers.2012). hal. 91
[7] Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. (Jakarta: Ghalia Indonesia.2009) hal. 128.
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hal. 102
[9] Ismail, Perbankan Syariah. (Jakarta:Kencana.2011). hal. 156
[10] Sri Nurhayati dan Wasilah, op.cit., hal. 197

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syarat Account Officer

Syarat Account Officer Ideal Seorang Account Officer (AO) adalah orang yang melakukan pemasaran dan penjualan kredit perbankan . d...