Manusia adalah makhluk sosial yang
diciptakan oleh Allah SWT. Di dalam berinteraksi antar sesamanya selalu
mempunyai hubungan dan tidak bisa sendiri-sendiri. Manusia sangat bergantung
sekali dengan manusia lainnya atau butuh teman, kawan atau makhluk lain maka
manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang lain. Bagaimana kalau
seorang manusia mau makan tentu dia butuh beras untuk dimasak maka tentu dia
harus membelinya di pasar atau dia harus menanamnya maka dia perlu bibit dan
pupuk yang diperoleh dari orang lain.
Di dalam berhubungan antar manusia
sangat dibutuhkan aturan-aturan. Selain aturan itu datang dari Allah SWT dan
Sunnah RasulNya diperlukan juga bahan-bahan yang lain, yang intinya
mendatangkan kebaikan bagi manusia.
Hubungan yang dimaksud juga berarti
saling bertransaksi dan dalam setiap kegiatan kehidupan atau ekonomi sangat
memerlukan transaksi. Dalam ekonomi ada yang kita kenal dengan Transaksi
Keuangan. Segala aspek aktifitas ekonomi memerlukan transaksi keuangan. Karena
label ekonomi kita telah berubah menjadi ekonomi Islam maka dalam transaksi keuangan
mutlak diperlukan transaksi yang Islami dan diridloi oleh Allah SWT. Maka
Transaksi Keuangan itu harus mempunyai landasan yang kuat dan benar. Berasal
dari sumber yang haq dan tayib. Aturan itu harus
mempunyai rujukan hukum yang jelas. Dari semua rujukan hukum itu maka secara
penamaan kita namakan kaidah fiqh atau hukum syariat yang jelas. Dalam
bertransaksi keuangan hendaklah ada kaidah fiqh yang kita pakai agar transaksi
itu syah dan tayib tadi.
Pembahasan makalah ini sesuai dengan
judul yang diperoleh dari Dosen Pembimbing maka dibatasi hanya terhadap tentang
Qaidah Fiqh dan Qaidah Ushuliyah serta perbedaannya, Niat dan Motivasi dalam
Kontrak yang harus benar, Konsep Menghilangkan Mudharat yang harus
dikedepankan, Aturan Relaksasi Hukum yang tidak memberatkan, Status Adat yang
masih relevan untuk dapat dipakai dan Keyakinan versus Keraguan. Jadi ada enam
sub pokok pembahasan yang akan kami uraikan dalam makalah ini yang akan
menambah wacana kita semakin jelas dan lebih mengerti lagi tentang ekonomi
Islam.
A. Qaidah Fiqh dan Qaidah
Ushuliyah
Qawaid Fiqhiyyah (kaidah-kaidah
fiqh) atau kaidah-kaidah hukum Islam menempati posisi yang sangat penting dalam
literatur Hukum Islam. Ia merupakan bentuk khusus literatur Hukum yang berkembang
pada abad ke 13 hingga abad ke 15, yang mencoba meringkas aturan-aturan dari
setiap mazhab ke dalam ringkasan-ringkasan pendek sehingga orang yang
mempelajari kaidah-kaidah ini dapat dengan mudah menghafalnya. Dalam bentuk
ekstrim, begitu ringkasnya satu mazhab dapat direduksi menjadi empat atau lima
pernyataan padat.
Sedangkan definisi dari Qawaid
Fiqhiyyah dapat kita temukan dari pandangan para ulama fiqh yang
terkenal dan di antaranya adalah : Syekh Mustafa Ahmed Zarqa seorang ulama fiqh
terkemuka mendefinisikan qawaid fiqhiyyah sebagai :
“Prinsip-prinsip fiqh universal yang dirumuskan ke dalam bentuk hukum yang
padat, melambangkan ketentuan-ketentuan umum terhadap kasus-kasus yang berada
di bawah topik-topik tertentu”.[2] Ali
Hayder, seorang yang terkenal karena uraiannya (syarahnya) terhadap Al-Majallah telah
mendefinisikannya sebagai : ”Aturan menyeluruh atau utama yang dibutuhkan untuk
mengetahui hal-hal khusus”.[3] Salim
Rustum Baz, pensyarah Majallah lainnya telah mendefinisikannya
sebagai : “Aturan menyeluruh atau utama yang dapat diterapkan pada semua atau
sebagian besar kasus-kasus khusus”.[4]Muhammad
Anis Ubadah menawarkan bahwa “Qawaid Fiqhiyyah adalah konsep
universal di mana ketetapan-ketetapan dari berbagai perkara hukum yangb berada
di bawah konsep universal tersebut diturunkan”.[5] Penulis
kontemporer lainnya mendefinisikan Qawaid Fiqhiyyah sebagai
“suatu prinsip umum di mana ketentuan-ketentuan khusus dapat langsung
diketahui”.[6]
Sementara itu fungsi utama dari
ilmu Qawaid Fiqhiyyah dari seluruh aturan-aturan yang universal dan menyeluruh tersebut diidentifikasi, dikonsolidasi dan
dikelompokkan menjadi aturan-aturan yang tematik atau sesuai dengan fungsi
masing-masing aturan itu sebenarnya atau dengan kata lain aturan yang sifatnya
umum bisa dikhususkan untuk topik-topik tertentu.
Sedangkan
status hukum Qawaid adalah merupakan bantuan hukum yang bisa
menjadi pedoman bagi ahli-ahli hukum dalam mengeluarkan suatu fatwa atau oleh
hakim dalam memutuskan suatu perkara sepanjang tidak melenceng dari Alquran,
Sunnah Rasul atau prinsip-prinsip umum hukum Islam.
Perbedaan antara Ushul Fiqh dan Qawaid
Fiqhiyyah (Qaidah Fiqh) adalah, Ushul Fiqh menaruh
perhatian utama pada aturan-aturan menterjemahkan teks hukum dan metodelogi
yang diikuti untuk menurunkan suatu aturan dari teks hukum. Ushul Fiqh merupakan
suatu metode yang diterapkan untuk menurunkan aturan-aturan umum dari
sumber-sumber asli. Misalnya, aturan “Amr (Komunikasi dalam
bentuk perintah) merupakan kewajiban” adalah suatu qaidah ushuliyah.Semua
amalan wajib seperti mendirikan sholat, membayar zakat dan memenuhi perjanjian
diturunkan dari aturan ini. Aturan itu diterapkan pada semua perbuatan yang
status hukumnya wajib dalam Islam.
Di sisi lain, Qawaid Fiqhiyyah diekstrapolasi
dari ketentuan-ketentuan fiqh dan menitik beratkan pada upaya mengidentifikasi
analogi hukum dan mengelompokkannya ke dalam judul yang sesuai. Aturan “Suatu
yang membahayakan harus dihilangkan” misalnya adalah kaidah fiqh yang
memasukkan semua ketentuan dalam hukum Islam di mana menghapuskan hal-hal yang
membahayakan dititikberatkan oleh syariah seperti hukum-hukum yang berkaitan
dengan kompensasi terhadap pengrusakan harta seseorang, hukum mengganti
kerugian, hukum Qisas, Hukum pre-emption (dalam istilah fiqh
disebut “Syuf’ah” yaitu hak prioritas untuk membeli terlebih dahulu),
likuidasi, hak membatalkan kontrak dan lain-lain.[7]
Selain Qawaid ada juga
istilah Dabitah. Dabitah adalah memfokuskan
penerapannya dalam topik-topik yang induvidual. Sementara Qawaid atau Qaidah adalah
satu aturan yang umum yang dapat diterapkan pada semua spesifikasi yang
terdapat dalam beberapa bab Fiqh. Misalnya ada Kaidah “Suatu perbuatan dinilai
dari niat di balik perbuatan itu” yang diterapkan pada berbagai bidang seperti
ibadah, transaksi, hukum kriminal dan lain-lain.
Sumber dan asal Qawaid dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa kategori :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ
وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.
Dan Surat Al-Hajj ayat 78 yang berbunyi :
B. Niat dan Motivasi
dalam Kontrak
Dalam melakukan kerjasama atau transaksi
hendaklah kita mulai dengan niat yang baik. Apabila niat itu selaras dengan
niat Allah atas transaksi itu maka perbuatan tersebut menjadi sah, tetapi
apabila niat itu tidak selaras dengan niat Allah maka perbuatan tersebut tidak
sah.
Niat dan motivasi menentukan sifat dasar
yang sebenarnya dari suatu akad, disamping menentukan status hukum dalam hal
sah atau tidak sahnya suatu perbuatan. Sehingga ketika suatu hadiah atau donasi
yang diberikan bertentangan dengan beberapa ketentuan maka akad itu akan
berubah menjadi akad jual-beli dan bukan lagi akad hadiah walaupun namanya
Hadiah atau Donasi. Begitu juga dengan akad hawalah (pendelegasian
hutang). Jika orang yang berhutang masih memliki kewajiban untuk melunasi
hutangnya disamping orang yang menggantinya, maka akad tersebut jatuh pada akad Kafalahmeskipun
nama akadnya Hawalah. Sama halnya dalam kerjasama Mudharabah jika
ada ketentuan yang menyatakan bahwa pihak yang menyediakan modal akan
memperoleh semua keuntungannya maka akad itu disebut Mudharabah tapi
akad hutang.[9]
Sebagai contoh dari suatu kontrak
ditentukan oleh tujuan dan maksud kontrak tersebut adalah giro di bank
komersial. Para ulama kontemporer memperlakukan giro sebagai suatu kontrak
hutang daripada kontrak wadiah atau amanah disebabkan karena
kontrak wadiah harus memenuhi syarat bahwa sebagai titipan di
tangan orang yang dipercaya dengan tujuan menjaga keamanan dan tidak ada
keharusan suatu kewajiban atau misalnya apabila barang yang dititipkan itu
rusak bukan karena kecerobohan maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya,
kemudian adalah bahwa titipan tersebut tidak dapat dipakai oleh orang yang
menerima amanah tersebut. Tetapi apabila barang wadiah tersebut
dipakai oleh si pemegang amanah dengan seizin yang punya maka kontrak wadiah berubah
menjadi kontrak hutang, kontrak agensi atau kontrak kerjasama.
Dan bagaimana dengan giro pada di Bank
Syariah ? Ternyata hal yang ditemukan adalah sangat kontras dari prinsipWadiah yakni
sebagai berikut :
1. Bank Syariah
menggunakan uang yang dititipkan dan tidak berlaku dalam kasus Wadiah.
2. Bank Syariah mencampur
adukkan uang titipan itu dengan tabungan yang lain.
3. Bank Syariah selalu
menjamin pengembaliannya dengan aman, atau bank menanggung semua kewajiban dan
resiko terkait uang yang dititipkan.
4. Bank Syariah tidak
mengembalikan uang yang sama tetapi uang lain dalam jumlah yang sama.
Oleh karena giro membentuk hubungan pemberi hutang dan penghutang antara
nasabah dan bank maka tidak dibolehkan bagi bank untuk memberikan layanan
ekstra kepada nasabah karena hal itu dihitung sebagai Riba. Hal ini telah
dilarang dalam suatu prinsip yang terkenal : ‘Setiap hutang yang memberikan
manfaat adalah Riba”. Dalam konteks transaksi hutang, uang jasa yang diberikan
kepada pemberi hutang dapat membuka pintu untuk riba. Jadi atas dasar
prinsip Sadd al-dara’i (Menutup segala cara yang membuka pintu
kemungkaran) hal ini harus dihindari.
Beberapa kontrak yang tidak dibenarkan adalah sebagai berikut :
1. Bay’ al Inah; adalah menjual
barang secara kredit dengan harga tertentu dan kemudian membelinya kembali
secara kontan dengan harga yang lebih murah dari harga kredit, di mana kedua
transaksi terjadi pada waktu yang bersamaan.
2. Tawaruq; adalah suatu
transaksi di mana seorang yang membutuhkan uang membeli suatu barang secara
kredit dari orang tertentu dan kemudian menjualnya ke pasar secara kontan dengan harga di bawah harga beli sebelumnya dari pemilik barang.
3. Bay’ bil Wafa; merupakan transaksi
di mana seseorang yang membutuhkan uang menjual suatu barang kepada pembeli
dengan syarat kapan saja si penjual mau maka si pembeli tadi harus
mengembalikan barang yang dibelinya kepadanya dengan harga pembelian semula.
4. Hiyal; alat/strategi hukum
yaitu menghilangkan hak atau menguatkan yang salah yang pada sisi lain selalu
digunakan dengan niat dan tujuan untuk menghindari larangan syariah.
5. Sadd Al-Dara’i;
mencegah atau menutup proses yang tujuannya haram atau dilarang yang sebenarnya
merupakan pencegahan suatu kemungkaran sebelum terjadi. Persoalan niat untuk memperoleh hasil tertentu tidak dapat menimbulkan hasil tersebut.
C. Konsep Menghilangkan
Mudharat
Ketentuan-ketentuan ini pada umumnya
berfungsi sebagai tindakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya mudarat
dan mencegah mudarat itu sebelum terjadi. Dan beberapa penerapan kaidah ini
adalah sebagai berikut :
1. Hukum Pencegahan (Hajr)
Hukum Islam telah membuat
batasan-batasan terhadap muatan-muatan akad dari suatu pihak yang memiliki
karakter membahayakan orang lain dan batasan-batasan terhadap transaksi
yang kemungkinkan besar membahayakan orang lain. Tindakan mencegah
seseorang dari transaksi tersebut disebut hajr dalam hukum
Islam. Hajr adalah mencegah orang tertentu dari menyia-nyiakan
hartanya. Hukum pencegahan diwajibkan syariah untuk menyelamatkan hak dan
kepentingan masyarakat yang diakibatkan oleh karakter orang-orang tertentu.[10] Alasan-alasan
penting dari pencegahan tersebut adalah :
a. Safah atau pemborosan
dalam hukum Islam merujuk pada penyalahgunaan harta seseorang yang berlawanan
dengan akal dan syariah dengan cara menghabiskannya tanpa tujuan yang benar
atau menggunakan harta secara berlebihan di luar kebutuhan meskipun realitasnya rasional bagi orang tersebut.
b.Orang yang mengalami
penyakit yang mematikan dilarang melakukan transaksi atas seluruh harta yang
dimilikinya karena dia harus memikirkan kepentingan ahli warisnya. Sebagai
contoh transaksi searah yang dilakukannya adalah memberikan donasi, waqaf,
infaq dan sedekah yang hanya dibatasi pada sepertiga dari hartanya. Dan jika
dia mempunyai hutang maka dilarang melakukan donasi karena harta yang
ditinggalkannya itulah sebagai pembayar hutangnya kelak. Dan untuk transaksi
dua arah (timbal balik) maka terlarang untuk membatalkannya karena kepentingan
sang pasien lebih utama daripada kepentingan ahli waris.
c.Orang yang telah
dinyatakan bangkrut oleh pengadilan maka terlarang baginya untuk mempergunakan
hartanya karena hartanya itu adalah untuk melindungi hak kreditor (pemberi piutang) dan mencegah membuat transaksi yang membahayakan kreditor.
D. Aturan Relaksasi
(Keringanan) Dalam Hukum Islam
Hukum-hukum syariah didasarkan atas
kenyamanan, keringanan dan menghilangkan kesulitan dari masyarakat. Syariah
telah memperhatikan keadaan khusus di mana suatu penderitaan harus diatasi
dalam rangka menyediakan kemudahan bagi mereka yang berada dalam kesulitan.[11]
Kaidah ini menyatakan bahwa dalam kasus
tertentu, demi menjaga kepentingan dasar dan kebutuhan masyarakat, hukum asal
yang ketat, yang menyebabkan kesulitan yang sulit dibayangkan dapat
diringankan. Dalam keadaan mendesak, keluasaan diperbolehkan. Dan kaidah ini
mencakup semua keadaan yang memerlukan suatu konsensi hukum dari hukum
asalnya, agar pemenuhan kewajibaan dapat terlaksana dan dalam kapasitas seorang
manusia normal.[12]
Kaidah ini dapat juga diterapkan pada
semua konsensi hukum yang didasari oleh sebab-sebab seperti perjalanan, sakit,
tekanan, kelalaian, kesulitan umum (‘umum a-balwa), cacat
fisik dan lupa. Secara umum, kaidah ini membolehkan keringanan dari aturan asal
dalam kasus darurat dan kebutuhan (hajat).[13] Kaidah
ini meliputi : Keadaan darurat dan kebutuhannya serta keadaan Hajat (kebutuhan)
dan akibatnya.
Keadaan darurat terbagi menjadi dua yaitu :
2. Darurat dalam
pengertian umum ini pengertiannya lebih luas merujuk pada suatu yang esensial
untuk melindungi dan menjaga tujuan-tujuan syariah. Dapat diamati bahwa
perhatian utama dari defenisi darurat menurut Syatibi adalah untuk melindungi
tujuan-tujuan dasar syariah, yaitu :
a. Menjaga dan melindungi agama,
b. Menjaga dan melindungi nyawa,
c. Menjaga dan melindungi keturunan,
d. Menjaga dan melindungi akal,
e. Menjaga dan melindungi kesehatan,
f. Menjaga dan melindungi kemuliaan
serta kehormatan diri.
Jadi, menurut defenisi ini, segala sesuatu yang membantu merealisasikan
tujuan-tujuan dasar syariah ini adalah darurat. Dan darurat harus mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut yaitu :
a. Darurat harus nyata,
bukan spekulatif dan imajinatif
b. Tidak ada solusi lain
yang ditemukan untuk mengatasi penderitaan kecuali keringanan itu
c. Solusi harus tidak
menyalahi hak-hak sakral yang memicu pembunuhan, pemurtadan, perampasan harta
atau bersenang-senang dengan sesama jenis kelamin
d. Harus ada justifikasi
kuat melakukan keringanan
e. Harus benar-benar
hanya itulah solusi yang tersedia.
E. Status Adat
Adat kebiasaan memberikan suatu dasar
(dalil) bagi keputusan pengadilan di mana seorang hakim mempunyai alternatif
dalam menghakimi suatu perkara. Adat kebiasan ini juga memberikan bantuan dan
bimbingan interpretasi yang menolong seorang hakim untuk menginterprestasikan
ketentuan-ketentuan hukum dari Alquran dan Sunnah.[15] Misalnya
untuk memastikan, besarnya perbedaan antara harga pasar dengan harga aktual
dalam suatu transaksi khusus, didasarkan pada praktik perdagangan dan
masyarakat yang terlibat dalam transaksi serupa.
Ulama Fiqh terdahulu membingkai sejumlah
hukum yang telah dipertimbangkan atas dasar kebiasaan yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat pada zamannya. Beberapa dari hukum-hukum itu diganti
oleh ulama fiqh belakangan, ketika mereka menemukan bahwa kebiasaan yang mereka
dasarkan atasnya tidak ada lagi.
Misalnya, zaman terdahulu gandum dan
jelai diukur dalam istilah Mudd dan Sha’ (dua
pengukuran kapasitas benda). Tapi, sekarang gandum dan jelai itu diukur
beratnya secara umum. Jadi, perhitungan apapun, apakah untuk dagang,
pembayaran ushr, sedekah, atau kafarat, semuanya dilakukan
dalam bentuk satuan berat yang umum dipakai.
‘Urf juga memiliki peranan dalam riba
al-fadl. Riba al-Fadl adalah suatu kelebihan yang dihasilkan melalui
kriteria syariah (yaitu pengukuran atau berat). Dalam hukum Islam klasik, jika
dua pihak menukar satu mudd gandum dengan dua mudd gandum, mereka dikatakan
telah melakukan Riba al-Fadl. Tapi sekarang, sejak gandum
diukur dengan berat, makaRiba al-Fadl akan terjadi hanya ketika,
katakan 5 kg gandum ditukar dengan 8 kg gandum. Seperti itulah ulam fiqh
menerjemahkan kriteria syariah dalam defenisi di atas berkenan dengan
pengukuran kapasitas.
Pada masa lalu, jual-beli hak-hak
yang abstrak dan harta yang tidak berwujud dilarang oleh ulama fiqh. Namun
sekarang, praktik perdagangan telah berubah. Hak-hak yang abstrak dan tidak
berwujud seperti hak cipta, hak paten, dan lain-lain, diberlakukan sebagai
komoditi yang dapat diperjual belikan. Ulama Fiqh modern telah menetapkan bahwa
hak-hak ini dapat dijual dan dibeli seperti harta berwujud lainnya.
F. Keyakinan Versus
Keraguan
Aturan dengan keyakinan versus keraguan
dan pandangan untuk meneruskannya, yang dinyatakan oleh kaidah, mencakup semua
kasus di mana suatu konflik antara keberadaan sesuatu di masa lalu dan
keraguan akan keberlangsungannya. Kaidah ini menyatakan bahwa aturan hukum dari
sesuatu yang dibangun dengan sebuah keyakinan akan terus berlanjut, dan
keraguan tidak akan mempengaruhi kedudukannya, karena kedudukan yang telah
dibangun itu adalah suatu pernyataan kepastian, dan pandangan yang merubah
kedudukan itu (keraguan) akan ditiadakan atau dihapuskan.[16]
Para
pemikir muslim telah mengelompokkan derajat pembuktian dalam persoalan
keyakinan versus keraguan ini ke dalam 5 kategori: yaqin (yakin), ghalabatudz-dzann (berprasangka
kuat), zann (prasangka), syak (ragu-ragu),
dan wahm(bisikan hati). Mereka membolehkan menyandarkan praktik
hukum-hukum syariah pada tiga kategori pertama. Konssep kepastian telah
tercantum dalam kaidah dasar dan sejumlah kaidah pelengkap.
Makna
dari kaidah dasar yang disebutkan diatas, bahwa begitu sesuatu didasarkan atas
keraguan, maka hal itu, hanya bisa dibatalkan melalui bukti tertentu yang
seimbang. Atas dasar prinsip ini, harta waris tidak dapat dituntut dari seorang
yang hilang, karena dugaannya ia masih hidup sepanjang tidak ada bukti yang
menyatakan bahwa ia sudah meninggal dunia. Disini, dalam kasus ini, hidupnya
orang-orang yang hilang dibangun dari fakta, yang tidak dapat ditolak hanya
berdasarkan keraguan dan kematiannya. Oleh karena itu, hartanya tidak dapat
dibagikan kepada ahli warisnya berdasar keraguan ini. Jika terdapat bukti yang menyatakan
ia meninggal dunia, maka hartanya dapat diwariskan kepada kerabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Islam (Fiqh) adalah satu dari sistem
hukum yang sangat berkembang dalam sejarah manusia, baik dalam hal kedalamannya
maupun keluasan aplikasinya. Fiqh menduduki tempat yang penting dalam budaya
hukum ummat manusia secara keseluruhan . Tidak seperti banyak tradisi hukum
lainnya, Fiqh telah memulai sistemasi hukum dan formulasi kaidah-kaidah
hukum-hukumnya sendiri pada awal mula dari tahap perkembangannya.
Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi,
hukum Islam (Fiqh) ini merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem
Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi
transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah
fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu
ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah
boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal
yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun
anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Alquran maupun Hadist), maka hal
tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Kaidah fiqih dalam muamalah yang ditulis
di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabeneurusan
ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja yang bisa
memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama
hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada
Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu
lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan kehidupan dunia yang penuh
dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada
manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku
yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi
asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam
mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia
sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh(wakil Allah di bumi).
Efek yang timbul dari kaidah fiqih
muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan
hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi
baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum
ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi
tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam.
[1] Knut S.
Vikor, Betwen God and Sultan, A History of Islamic Law,
(New Delhi: Cambridge House, 2005), hal. 165
[2] Zarqa, Al-Madkhal
al-Fiqhi al-Amin, (Damascus: University of Damascus Press, 1959), jilid 2,
hal. 933
[3] Ali
Hayder, Durar al-Hukkam Sharh Majallat al-Ahkam al-Adliyah, (Beirut:
Daar al-kutub alilmiyyah), n. d. hal. 17
[4] Salim Rustum
Baz, Sharh majjalah, (Beirut: Daar al-kutub
al-Ilmiyyah), n. d. vol. 1, hal. 17
[5] Muhammad Amin
Ubadah, Tarikh al-Fiqh Islami, (Cairo: Dar al-Tiba’ah, 1395), 2nd edition,
vol. 1, hal. 107
[6] Muhammad b.
Ahmad Al-Maqqari, Al-Qawaid, (Makkah: Umm al-Qura University),
n.d. hal 107
[7] Muhammad Tahir
Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor:
Ulul Albab Institut, 2010), hal. 9
[8] Ibid. hal 11
[9] Ibid. hal 23
[10] Ibid. hal 47
[11] Ibid. hal 75
[12] Ibid. hal 76
[13] Ibid. hal 77
[14] Ibid. hal 79
[15] Ibid. hal 99
[16] Ibid. hal 117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar