BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia diciptakan selain sebagai makhluk
individu juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia
mempunyai berbagai macam hak dan kewajiban. Begitu pula sebagai makhluk sosial,
manusia hendaknya dapat menjaga hubungan baik dengan sesama, menumbuhkan rasa
kepedulian sosial serta rasa tolong menolong. Karena dalam kehidupan, manusia
selalu membutuhkan bantuan dari orang lain.
Selain itu, manusia diciptakan dengan
berbagai kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda dan saling melengkapi. Oleh
karena itu, dalam Islam dianjurkan untuk melakukan wakaf sebagai salah satu
bentuk taqarrub kepada Allah dalam rangka mempersempit kesenjangan sosial antara
si kaya dan si miskin
Islam telah mengatur hal-hal tersebut, baik
dalam syarat dan rukun maupun dalam pelaksanaannya. Namun dalam kenyataannya
masyarakat kita banyak yang belum mengetahui hal tersebut dan melakukan wakaf
sesuai dengan pemahaman mereka. Sebagai umat Islam, kita hendaknya mengetahui
dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan al-Qur’an dan hadist, oleh karena
itu pengetahuan akan wakaf sangat diperlukan sebelum kita mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Hadist
2.
Arti Kata Perkata
3.
Biografi
Perawi
4.
Penjelasan
a.
Pengertian
wakaf
b.
Rukun dan
syarat wakaf
c.
Macam-macam
wakaf
d.
Menjual
wakaf
e.
Hikmah
wakaf
BAB II
PEMBAHASAN
WAKAF
A.
Hadis
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عُمَرَ قَالَ أصَا بَ عُمَرَ أرْضًا بِخَيْبَرَ فَأتَى النَبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنِّي أصَبْتُ أرْضًا
بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قُطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا
تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ
فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَر أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُورَثُ قَالَ
فَتَصَدَّقَ عُمَر فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرَّقَابَ وَفِي
سَبِيْلِ اللهِ وَبْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيْهَا
أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوَّلٍ
فِيْهِ وَفِي لَفِظٍ : غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ (رَوَهُ الْبُخَرِ وَمُسْلِمُ)
“Dari Abdullah bin Umar, dia berkata,
Umar mendapatkan bagian tanah di Khaibar, lalu dia menemui Nabi SAW untuk
meminta pendapat tentang tanah itu. Dia berkata, ‘wahai Rasululllah,
sesungguhnya aku mendapat bagian tanah di Khaibar, dan aku tidak mendapatkan
harta yang lebih berharga dari tanah ini. Maka apa yang engkau perintahkan
kepadaku tentang tanah itu?’ Beliau menjawab, ‘jika engkau menghendaki, maka
engkau dapat menahan tanahnya dan engkau dapat menshadaqahkan hasilnya’.
Abdullah bin Umar berkata, ‘Maka Umar menshadaqah kan hasilnya, hanya saja
tanahnya tidak dijual atau diwariskan’. Dia berkata, ‘Maka Umar menshadaqahkan
hasilnya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak wanita, di
jalan Allah, orang dalam perjalanan, orang lemah, dan tidak ada salahnya bagi
orang yang mengurusnya untuk memakan darinya secara ma’ruf, atau untuk memberi
makan teman, selagi tidak mengambil secara berlebihan. Dalam suatu lafazh
disebutkan, ‘Selagi bukan untuk ditumpuk’.”[1]
B.
Arti
Kata Perkata
أصَبْتُ = Aku mendapat
تَصَدَّقْتَ = engkau menshadaqahkannya
أرْضًا =
tanah
يُبَاعُ =
dijual
مَالًا = harta
يُورَثُ = diwariskan
حَبَسْتَ = engkau menahan
الْفُقَرَاءِ = orang-orang fakir
الْقُرْبَى = kerabat
الرَّقَابِ = memerdekakan
وَفِي
سَبِيْلِ اللهِ = di jalan Allah
وَبْنِ السَّبِيْلِ = orang dalam perjalana
الضَّيْفِ = orang lemah
جُنَاح =
salah
يَأْكُلَ =
memakan
يُطْعِمَ = memberi makan
مُتَمَوَّلٍ =
berlebihan
مُتَأَثِّلٍ = ditumpuk
C.
Biografi
Perawi
Abdullah bin Umar atau biasa disebut juga
dengan “Ibn Umar” (anak Umar bin al-Khaththab) lahir pada tahun 10 sebelum
hijriah, setelah peristiwa pengangkatan Rasul SAW dan meninggal pada tahun 74
hijriah. Ia masuk Islam bersama ayahnya pada usia 10 tahun, dan termasuk salah
seorang dari empat sahabat yang mendapat gelar “Abdullah”. Menurut Malik bin
Anas dan Ibn Syihab az-Zuhri, ia mengetahui sepenuhnya berbagai urusan yang
dihadapi Rasul SAW dan para sahabatnya.
Dalam kehidupan sehari-harinya menurut
pandangan para ulama, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, bahwa pribadi
Ibn Umar mencerminkan ia seorang ulama yang hanya mengharapkan ridha Allah SWT
semata, sebagaimana dikatakan Ibn Mas’ud, Jabir, dan Ibn al-Musayyab. Menurut
Ibn Syihab az-Zuhri, dikalangan para tabi’in tidak pernah ada seorang pun yang
berpaling dari pandangan-pandangannya.
Hadis-hadis yang diterimanya, selain
langsung dari Rasul SAW, Ia juga menerima dari para sahabat lainnya, seperti
Abu Bakar, Umar, Utsman, A’isyah, Hafshah (saudaranya), dan Abdullah bin
Mas’ud. Para tabi’in yang meriwayatkan hadis daripadanya banyak sekali. Di
antaranya, ialah Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan al-Basri, Ibn Sirin, Nafi’,
Mujahid, Thawus, dan Ikrimah. Dalam periwayatan hadis di kalangan para sahabat
ia menduduki ranking kedua dengan jumlah hadis yang diriwayatkannya, sebanyak
2.630 hadis.
Di antara silsilah sanad yang paling
shahih, yang sampai kepada Abdullah bin Umar, ialah melalui Malik bin
Anas dari Nafi’. Sedang yang paling lemah, ialah melalui Muhammad bin Abdullah
bin al-Qasim dari ayahnya kemudian dari kakeknya. Disamping ia menghafal
hadis-hadis yang diterimanya, ia juga menuliskannya dalam beberapa risalah-nya.
Hal ini diantaranya diketahui oleh Nafi’. Di antara hadis-hadis yang
diriwayatkannya ada juga yang ditulis oleh para ulama yang menerimanya, seperti
Sa’id bin Jubair, Abd al-Aziz bin Marwan, Abd al-Malik bin Marwan, dan Nafi’ (maula-nya).[2]
D.
Penjelasan
1.
Pengertian
Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang
berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil
(tertawan), al-man’u (mencegah).[3]
Wakaf atau dalam bahasa Arab diistilahkan dengan wakaf secara gramatikal
berarti “menahan”. Sedangkan menurut istilah syara’ perkataan wakaf berarti
“menahan harta dan memberikan manfaatnya pada jaln Allah SWT.
Syafi’iyah
mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa member manfaat serta
kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan
yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan
oleh syariah.[4]
Dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 1997 tentang Perwakafan Tanah Milik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3017) dalam pasal 1 ayat 1 dikemukakan bahwa: “wakaf adalah perbuatan hukum
yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah milik (Peraturan
Pemerintah ini memang khusus mengatur perwakafan tanah milik) dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari rumusan-rumusan pengertian yang
dikemukakan diatas dapatlah ditemukan bahwa wakaf tersebut adalah merupakan
suatu tindakan/perbuatan hukum berupa memisahkan dari harta kekayaan, dan harta
yang dipisahkan tersebut dilembagakan (menjadi harta yang berdiri sendiri) dan
tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan pewakaf serta digunakan untuk
kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya pada jalan Allah SWT.[5]
2.
Rukun
dan Syarat Wakaf
Adapun yang menyangkut rukun wakaf dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a.
Yang
berwakaf
Adapun yang menjadi syarat pokok orang yang
berwakaf adalah:
1)
Berhak
berbuat kebaikan
2)
Atas
kehendak sendiri
Berarti orang yang berwakaf haruslah orang
yang berhak untuk melakukan sesuatu perbuatan, dengan kata lain orang yang
cakap bertindak menurut hukum, yaitu orang yang dewasa dan sehat akalnya serta
oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum (misalnya orang gila).
H. Sulaiman Rasyid menafsirkan “berhak
berbuat kebaikan” tersebut, juga dapat dilakukan oleh orang di luar Islam,
dengan demikian orang di luar agama Islam pun (non Islam) juga dapat memberikan
wakaf.
Sedangkan yang dimaksud dengan “kehendak
sendiri”, bahwa seseorang tidak dapat dipaksa agar dia mewakafkan harta
miliknya. Dengan demikian orang yang dipaksa untuk melakukan wakaf adlah tidak
sah, karena tidak memenuhi syarat.
b.
Ada obyek
yang diwakafkan
Obyek atau benda yang diwakafkan tersebut
mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu, atau dengan kata lain tidak semua
benda dapat diwakafkan. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1)
Kekal
zatnya; maksudnya barang yang diwakafkan tersebut tidak habis sekali pakai,
kalaupun benda tersebut diambil manfaatnya, benda tersebut tidak mengalami
kerusakan.
2)
Benda yang
diwakafkan merupakan milik atau kepunyaan orang yang mewakafkan.
c.
Penerima
wakaf
Penerima wakaf hendaklah orang yang sudah
dapat melakukan perbuatan hukum, dengan kata lain dewasa, berakal, dan tidak
terhalang oleh hukum untuk melakukan suatu perbuatan hukum
d.
Lafaz
Adapun yang dimaksud dengan lafaz adalah
ucapan dari orang yang berwakaf bahwa dia mewakafkan untuk kepentingan
tertentu. Misalnya; saya mewakafkan
tanah ini untuk kepentingan Mesjid. Apabila sudah dilafazkan seperti itu maka
tanah tersebut hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan pembangunan Mesjid,
atau dengn kata lain peruntukannya tidak dapatdialihkan lagi.[6]
3.
Macam-macam
Wakaf
Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi
menjadi dua bagian:
a.
Wakaf ahli
(khusus)
Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau
wakaf khusus. Maksud wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang
tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain.
Misalnya, seseorang mewakafkan buku-buku yang ada diperpustakaan pribadinya
untuk turunannya yang mampu menggunakan.
Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang
berhak menuikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam
pernyataan wakaf. Masalah yang mungkin akan timbul dalm wakaf in I apabila
turunan atu orang-orang yang ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan
benda-benda wakaf, mungkin juga yang disebut atau yang ditunjuk untuk
memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah. Bagaimana nasib harta wakaf itu?
Bila terjadi hal-hal tersebut, dikembalikan
pada syarat umum, yaitu wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu. Dengan
demikian, meskipun orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan benda-benda
wakaf telah punah, buku-buku tersebut tetap berkedudukan sebagai benda wakaf
yang digunakan oleh keluarga yang lebih jauh atau bila tidak ada lagi digunakan
oleh umum.
b.
Wakaf
khairi (umum)
Wakaf khairi ialah wakaf yang sjak semula
ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada
orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang benar-benar sejalan dengan
amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan
pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal dunia, selama harta masih
dapat diambil manfaatnya.[7]
4.
Menjual
Wakaf
Tujuan wakaf hanya untuk mengambil manfaat,
benda asalnya masih tetap tidak boleh dijual, diberikan atau dipusakakan.
Tetapi apabila benda tersebut, tidak bermanfaat atau kurang bermanfaat atau
mengganggu jalan, maka timbul beberapa pendapat.
Menurut pendapat mazhab Ahmad bin Hanbali,
apabila manfaat wakaf tidak dapt digunakan, wakaf tersebut boleh dijual dan
uangnya dibelikan kepada gantinya. Demikian juga mengganti mesjid atau
merubahnya juga memindahkan mesjid dari satu tempat ke tempat lain atau menjual
mesjid, uangnya dibelikan untuk membangun mesjid di tempat lain. Hal ini
berdasarkan perbuatan Umar bin Khattab r.a; yang telah mengganti mesjid Kuofah
yang lama dengan mesjid yang tempatnya pun di pindahkan, karena tempat yang lam telah menjadi pasar.
Syekh Ibnu Taimiyah berkata; “Sesungguhnya
yang menjadi pokok disini untuk menjaga kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan.
Allah SWT telah menyuruh Rasul-Rasul-Nya untuk menyempurnakan kemaslahatan dan
melnyapkan kerusakan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
tA$s%ur…. 4Óy›qãB ÏmŠÅzL{ šcrã»yd ÓÍ_øÿè=÷z$# ’Îû ’ÍGöqs% ôxÎ=ô¹r&ur Ÿwur ôìÎ6Gs? Ÿ@‹Î6y™ tûïωšøÿßJø9$# ÇÊÍËÈ
Artinya: “Kata Musa as kepada saudaranya
Harun. Hendaklah engkau gantikan saya untuk menjaga kaum saya dan jalankanlah
kemaslahatan untuk mereka janganlah sekali-kali engkau mengikuti orang-orang
yang merusak ". (Q.S Al-A’raf : 142)[8]
5.
Hikmah
Wakaf
Jika kita menggali syari’at Islam, akan
ditemukan bahwa tujuan syari’at Islam
adalah untuk manusia.wakaf itu sendiri termasuk dalam golongan sedekah yang
dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pemahaman Islam terhadap wakaf
berpijak pada pemahaman islam terhadap
kepemilikan serta fungsi social harta kekayaan.
Islam berpedoman bahwa segala kepemilikan,
termasuk harta, adalah milik Allah. Dia mengamanatkan kepada manusia untuk
untuk mengelolanya. Islam memberikan keleluasaan manusia untuk mengelola
hartanya dan mengeluarkan sebagai infak sesuai yang digariskan agama.
Islam menyediakan beragam cara untuk
membelanjakan harta kekayaan dijalan kebaikan. Islam mengajarkan kepada manusia
untuk saling tolong menolong dan menjaga interaksi antarmanusia. Wakaf ,
sebagai bentuk pembelanjaan harta dijalan kebajikan merupakan satu alternatif
yang ditawarkan oleh Islam sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Menurut
bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan),
al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), al-man’u
(mencegah).
2.
Wakaf merupakan
suatu tindakan/perbuatan hukum berupa memisahkan dari harta kekayaan, dan harta
yang dipisahkan tersebut dilembagakan (menjadi harta yang berdiri sendiri) dan
tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan pewakaf serta digunakan untuk
kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya pada jalan Allah SWT.
3.
Rukun
wakaf : yang berwakaf, obyek akad, penerima wakaf dan lafazh.
4.
Wakaf
terbagi dua yaitu : wakaf ahli (khusus) dan wakaf khairi (umum)
5.
Wakaf tidak
boleh dijual, diberikan atau dipusakakan. Tetapi apabila benda tersebut, tidak
bermanfaat atau kurang bermanfaat atau mengganggu jalan, maka boleh dijual
tetapi harus diganti.
B. Saran
Pemakalah
menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
terdapat kekurangan, oleh sebab itu, pemakalah sangat membutuhkan saran dari
pembaca, terutama dari Bapak Dosen selaku pembimbing dalam mata kuliah ini,
untuk dijadikan acuan dalam pembuatan makalah di kemudian hari.
[1] Mardani,Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah.(Jakarta:
Rajawali Pers.2011). Hal. 154-155
[2] Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis.(Jakarta Selatan: Gaya Media
Pratama.2001). Hal. 199-200
[3] Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah.(Jakarta: PT. Rajawali
Pers.2011) Hal. 239
[4] Andri Soemitra,Bank dan Lembaga Keuangan Syariah.(Jakarta:Kencana.2010).
Hal. 434
[5] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis,Hukum Perjanjian
dalam Islam.(Jakarta: Sinar Grafika.2004) Hal. 104
[6] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Op.cit.
Hal.107-110
[7] Hendi Suhendi,Ibid. Hal. 244-245
[8] Ibrahim Lubis,Ekonomi Islam Suatu Pengantar II.(Jakarta
Pusat: Kalam Mulia.1995). Hal. 726-727
[9] Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Hukum Wakaf.(Jakarta:IIMaN.2004).
Hal. 82-83