BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bekerja adalah
kewajiban bagi setiap muslim. Sebab dengan bekerja setiap muslim akan
mengaktualisasikan kemuslimannya sebagai manusia, ciptaan Allah yang paling
sempurna dan mulia di muka bumi ini. Jika setiap muslim bekerja yang baik untuk
mengaktualisasikan kemuslimannya sebagai makhluk Allah maka ia sudah melakukan
ibadah kepada-Npa. Karena setiap pekerjaan bsik yang dilakukan muslim karena
Allah, berarti ia sudah berjihad di jalan Allah.
Sebuah jihad tentu
memerlukan motivasi, dan motivasi membutuhkan pandangan hidup yang jelas dalam
memandang sesuatu, yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi umat
muslim, karena di dalamnya mengandung semua aspek kehidupan umat muslim
termasuk masalah kerja. Maka seorang muslim yang bekerja harus melakukan
pekerjaan yang dibolehkan dalam Al-Qur’an.
Berdasarkan Pedoman
Al-Qur’an tersebutlah akan menciptakan etika kerja dalam Islam, Lalu bagaimanakah
sebenarnya etika seorang muslim dalam melakukan pekerjaannya.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian
Kerja
2. Kerja
Menurut Al-Qur’an
3. Etika
Kerja Muslim
4. Sikap
Kerja Keras
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kerja
Pada zaman dahulu kerja
dipahami hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti pangan, sandang
dan papan. Sejalan dengan peradabannya yang masih sederhana, tujuan kerja bagi
manusia hanyalah untuk menjaga kelangsungan hidup. Pada masa itu kebutuhan
hidup manusia tidak menjadi persoalan yang serius karena alam menyediakan semuanya
dan jumlah manusia relatif sedikit.
Persoalan mulai muncul
ketika jumlah penduduk terus bertambah dan alam tidak lagi mampu menyediakan
kebutuhan hidup manusia, kalaupun ada, kebutuhan tersebut tidak cukup memadai
sehingga manusia pun berupaya untuk memproduksinya sendiri. Disinilah kerja
menjadi persoalan serius bagi manusia, karena tidak semua manusia mampu
menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri. Dan ternyata kebutuhan
manusia tidak hanya sebatahan kebutuhan primer, manusia harus memenuhi kebutuhan
sekunder dan tersier.
Pada zaman modern
manusia bekerja memiliki bebrapa tujuan, yaitu:
1. Memenuhi
kebutuhan primer seperti makan, minum, rumah dan pakaian.
2. Memenuhi
kebutuhan sekunder seperti rekreasi, memilik barang-barang mewah, kesehatan dan
pendidikan.
3. Mememnuhi
kebutuhan tersier seperti ingin gengsi,terlihat mewah, aksesoris-aksesoris dan
lain-lain.
4. meneguhkan
jati diri sebagai manusia.
Hampir setiap sudut
kehidupan kita akan menyaksikan begitu banyak orang yang bekerja. Para salesman
yang hilir mudik mendatangi toko dan rumah-rumah, para guru yang tekun berdiri
di depan kelas, polisi yang mengatur lalu lintas dalam selingan hujan dan panas
terik serta segudang profesi lainnya. Mereka semua melakukan kegiatan
(aktivitas), tetapi lihatlah bahawa dalam setiap aktivitasnya ituada sesuatu
yang dikejar, ada tujuan serta usaha (ikhtiar) yang sangat bersungguh-sungguh
untuk mewujudkan aktivitasnya tersebut mempunyai arti.
Walau demikian,
tidaklah semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai pekerjaan. Karena
didalam makna pekerjaan terkandung tiga aspek yang harus dipenuhi secara nalar,
yaitu:
1. Bahwa
setiap aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan tanggung jawab (motivasi).
2. Bahwa
apa yang dilakukan tersebut dilakukan karena kesengajaan, sesuatu yang
direncanakan, karenanya terkandung di dalamnya suatu gabungan rasa dan rasio.
3. Bahwa
yang dilakukan itu, dikarenakan adanya sesuatu arah dan tujuan yang luhur.[1]
Nurcholis Majid
mengungkapkan, kerja dalam pandangan Islam adalah mode of existence
(bentuk keberadaan). Harga manusia sangat ditentukan oleh amal atau kerja yang
dilakukannya. Jika ia melakukan sesuatu pekerjaan yang baik dengan penuh
kesungguhan, ia akan mendapatkan balasan yang baik pula di dunia dan di
akhirat. Sebaliknya, Jika ia melakukan pekerjaan yang buruk, maka ia akan
memperoleh balasannya. Lebih dari itu harga kemanusiaannya menjadi turun.
Atas dasar pemikiran
tersebut dalam Islam kerja dipandang sebagai ibadah. Sejatinya seorang muslim
yang bekerja keras hruslah berangkat dari kesadarannya bahwa kerja tersebut
merupakan ibadah. Ini tidak berarti bahwa seseorang dilarang untuk mengharapkan
reward (penghargaan) baik materil maupun nonmateril seperti gaji atau
penghasilan, karier dan kedudukan yang lebih baik serta pujian Dn sebagainya.
B. Kerja Menurut Al-Qur’an
Di dalam kaitan dengan
kerja, Al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti
oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut
dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman
dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja
sebagai suatu etika kerja positif dan negatif.
Di dalam Al-Qur’an
ditemukan setidaknya ada dua kata kunci untuk menjelaskan konsep kerja dalam
pandangan Islam yaitu amal dan sun’. Kedua kata tersebut diungkap dalam
Al-Qur’an lebih kurang 602 kali, suatu jumlah yang cukup besar. Kata taqwa
(al-taqwa) dan kata-kata kerja serta kata-kata benda yang dikaitkan dengannya
memiliki tiga arti, menurut Abdullah Yusuf Ali pertama, takut kepada Allah,
merupakan awal dari ke’arifan. Kedua, menahan atau menjaga lidah, tangan
dan hati dari segala kejahatan. Ketiga, ketaqwaan, ketaatan dan kelakuan baik.[2] ,
sedangkan sun’ adalah membuat atau memproduksi sesuatu dengan mengolah
bahan baku atau mengolah ulang bahan yang sudah jadi. Salah satu bentukan dari
kata sun’ adalah sina’áh yang berarti pabrik.
Di dalam Al-Qur’an ayat
tentang kerja seluruhnya yang berjumlah 602 kata, bentuknya sebagai berikut:
1. Terdiri
22 kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat
al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2. Kata ‘amal (perbuatan)
kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3. Kata wa’amiluu (mereka
telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19
dan an-Nur: 55.
4. Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti
dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5. Kita
temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka,
‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah.
Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8,
dan at-Tur: 21.
6. Terdapat
27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti
dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7. Disamping
itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a,
yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya
ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu,
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti
bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT
berfirman: “…barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh…” (Al-Kahfi: 110)
Ada juga ayat Al-Qur’an
yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya firman Allah SWT
kepada Nabi Daud as.
“ Dan Telah kami ajarkan kepada Daud
membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu…”
(al-Anbiya: 80)
Dalam surah al-Jumu’ah
ayat 10 Allah SWT menyatakan :
#sŒÎ*sù
ÏMuŠÅÒè%
äo4qn=¢Á9$#
(#rãϱtFR$$sù
’Îû
ÇÚö‘F{$#
(#qäótGö/$#ur
`ÏB
È@ôÒsù
«!$#
(#rãä.øŒ$#ur
©!$#
#ZŽÏWx.
ö/ä3¯=yè©9
tbqßsÎ=øÿè?
ÇÊÉÈ
Artinya: “Apabila Telah ditunaikan
shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10)
Selain itu, didalam
Al-Qur’an juga banyak terdapat contoh-contoh tentang kerja. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
Pertama,
ayat cukup populer yang berbunyi “Barang siapa yang bertaqwa niscaya Allah
akan memberinya rezeki secara tidak disangka-sangka.”. Sekilas taqwa dalam
ayat ini memang diartikan sebatas ibadah mahdah saja, bersujud dan berdo’a di atas sajadah
lalu rezeki yang tak disangka-sangka akan turun dari langit. Namun inti taqwa
di sini adalah upaya keras untuk menerapkan nilai etika dalam bisnis secara
menguntungkan, yakni dibarengi oleh aspek-aspek skill (Kemampuan).
Kedua,
perekaman Al-Qur’an dalam satu surat utuh tentang suksesnya Yusuf as. menjadi
perdana menteri (Mesir Kuno) yang diawali dengan penderitaan memilukan ketika beliau mendapat jabatan
terhormat , Al-Qur’an mengatakan bahwa, kesenangan atau kemudahan itu dipetik
setelah lulus melewati kesulitan, sesungguhnya di dalam kesulitan ada
kemudahan.
Ketiga,
dalam surat Al-Baqarah ayat 25 dikatakan bahwa kelak para penghuni sungai
ketika memakan buah-buahan surga akan mengatakan bahwa, “mereka di duni juga
pernah mencicipi buah-buahan serupa.”. Pedagang yang jujur oleh sebuah
hadis digolongkan ke dalam jajaran para nabi. Hal ini menunjukkan bahwa
pedagang yang jujur pun, satu di antara yang akan masuk surga,tidak hanya akan
mendapatkan pahala akhirat tapi bahkan kenikmatan duniawi.
Keempat,
para nabi adalah profesional. Al-Qur’an sering menyebutkan profesi atau jenis
pekerjaan para nabi, misalnya Nabi Daud sebagai pandai besi, Nabi Musa sebagai
pengembala, Nabi Sulaiman sebagai raja, dan tadi Nabi Yusuf sebagai menteri.
Seandainya etika yang harus ada pada diri nabi akan selalu merugikan, tentunya
profesi mereka tidak akan sukses. Tapi kenyataannya sebaliknya. Mereka sukses
sebagai nabi juga sebagai pekerja.
Demikian juga dengan
para sufi, mereka biasanya mempunyai keahlian atau profesi tertentu. Junaid
Al-Baghdadi misalnya dijuluki “al-qawariri”, si penjual barang-barang
pecah. Fariduddin al-Aththar disebut al-Aththar atau tukang minyak wangi. ada
juga yang dijuluki si pemintal kapas atau penenun. Ini semua menunjukkan bahwa
nilai-nilai etis tidak selalu bertentangan dengan keuntungan bisnis, asalkan
dijalankan sesuai dengan skill nilai etis itu.[3]
Dalam praktek mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, terdapat empat macam
pekerja, yaitu:
1. Al-Hirafiyyin: mereka yang mempunyai
lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran.
Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam
jasa angkutan dan kuli.
2. Al-Muwadzofin: mereka yang secara
legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan
pegawai negeri.
3. Al-Kasbah: para pekerja yang
menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang
keliling.
Al-Muzarri’un:
para petani.
C. Etika Kerja Muslim
Etika bagi seseorang
terwujud dalam kesadaran moral (moral consciousness) yang memuat
keyakinan ‘benar dan tidak’. Perasaan yang muncul bahwa ia akan salah bila
melakukan sesuatu yang diyakininya tidak benar berangkat dari norma-norma moral
dan persaan self-respect (menghargai diri) bila ia meninggalkannya.
Tindakan yang diambil olehnya harus ia pertanggung jawabkan pada diri sendiri.
Begitu juga dengan sikapnya terhadap orang lain bila pekerjaan tersebut
mengganggu atau sebaliknya mendapat pujian.
Secara terminologis
arti etika sangat dekat dengan pengertiannya dengan istilah Al-Qur’an al-khuluq.
Untuk mendeskripsikan konsep kebajikan, Al-Qur’an menggunakan sejumlah
terminologi sebagai berikut: khair, bir, qist, haqq,
ma’ruf, dan taqwa.
Jika merujuk kepada
Al-Qur’an akan ditemukan beberapa tuntutan ajaran Islam tentang etika kerja
diantaranya adalah:
1. Niat
yang baik dan ikhlas.
2. Tidak
melalaikan kewajiaban kepada Allah SWT.
3. Suka
sama suka (tidak ada keterpaksaan).
4. Akhlak
yang baik.
5. Tidak
curang dan tidak pula memberi mudharat kepada orang lain.
6. Menerapkan
administrasi dan manajemen yang baik.
7. Obyek
usaha haruslah yang halal.
D. Sikap Kerja Keras
Sikap kerja keras dan
berusaha untuk mengubah nasib, rajin, dan sungguh-sungguh dalam melakukan
pekerjaan merupakan anjuran dan kewajiban bagi insan yang beragama Islam. Agama merupakan motivasi dan sumber gerak serta
dinamika dalam mewujudkan etos kerja. Islam menyuruh manusia untuk bekerja dan
mengubah nasibnya sendiri. Manusia wajib berusaha dan berikhtiar untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masing-masing. Memang hanya manusia
yang mau berusaha, bekerja keras, dan sungguh-sungguh yang akan meraih
prestasi, baik kesuksesan hidup di dunia maupun di akhirat. Ada beberapa sikap
mental yang mencerminkan sikap ini antara lain:
1.
Proaktif, yaitu sikap yang ingin mengubah lingkungan,
mengubah keadaan yang ada, atau membuat suasana lebih kondusif. Sebagaimana firman
Allah dalam Surat Ar Ra’d ayat 11 berbunyi:
¼çms9
×M»t7Ée)yèãB
.`ÏiB
Èû÷üt/
Ïm÷ƒy‰tƒ
ô`ÏBur
¾ÏmÏÿù=yz
¼çmtRqÝàxÿøts†
ô`ÏB
ÌøBr&
«!$#
3 žcÎ)
©!$#
Ÿw
çŽÉitóãƒ
$tB
BQöqs)Î/
4Ó®Lym
(#rçŽÉitóãƒ
$tB
öNÍkŦàÿRr'Î/
3 !#sŒÎ)ur
yŠ#u‘r&
ª!$#
5Qöqs)Î/
#[äþqß™
Ÿxsù
¨ŠttB
¼çms9
4 $tBur
Oßgs9
`ÏiB
¾ÏmÏRrߊ
`ÏB
@A#ur
ÇÊÊÈ
Artinya:”Bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.” (Q.S Ar-Ra’d: 11)
2.
Memulai suatu pekerjaan dengan setelah sempurna dalam
pikiran.
Kegiatan seperti ini kegiatan yang mengacu kepada visi, misi dan tujuan
yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa
pekerjaan tersebut tergantung niat masing-masing. Usaha itu akan dipengaruhi
kesungguhan mengerjakan dan niatnya sesuai denga Firman Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut:
br&ur
}§øŠ©9
Ç`»|¡SM~Ï9
žwÎ)
$tB
4Ótëy™
ÇÌÒÈ
Artinya:
”Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(Q.S.
AnNajm:39)
Dengan keterangan ayat
diatas maka jelaslah bahwa manusia mempunyai keharusan untuk berusaha dan mampu
mengubah kondisi sendiri dari kemunduran dan keterbelakangan untuk menuju
kepada kemajuan. Suatu
prestasi kerja dan keberuntungan tidak dapat diraih dengan mudah oleh
seseorang, melainkan melalui usaha dan kerja keras yang dibarengi idealisme dan
optimisme yang tinggi. Bekerja keras bagi manusia merupakan keharusan dan
panggilan hidup manusia. Jika kita berusaha dengan baik serta diiringi dengan
hati yang ikhlas karena Allah maka hal itu termasuk ibadah dan perbuatan yang
berpahala.
3.
Selesai mengerjakan suatu pekerjaan beralihlah kepada
yang lain
Kita harus selalu mengatur waktu untuk mengerjakan pekerjaan sehingga
tidak ada waktu yang terbuang, membuat nilai waktu itu maksimal, baik untuk
urusan dunia ataupun akhirat. Karena waktu itu laksana pedang apabila kita
tidak menggunakannya ia akan memotong kita tanpa menunggu, waktu tak pernah
berhenti. Sesuai Firman Allah dalam surat Al-Insyiroh ayat 6 dan 7 berbunyi:
#sŒÎ*sù
|Møîtsù
ó=|ÁR$$sù
ÇÐÈ 4’n<Î)ur
y7În/u‘
=xîö‘$$sù
ÇÑÈ
Artinya: Maka
apabila telah menyelesaikan suatu urusan, kerjakanlah urusan yang lain, dan
kepada Tuhanmu gemar dan berharaplah! ( Al-Insyiroh ayat 7-8 )
4.
Mewujudkan Sinergi, saling bekerjasama mencapai
tujuan.
Kejelekan yang terorganisasi bisa mengalahkan kebaikan yang tidak
terorganisasi. Itu rahasia mengapa Rasulullah mendidik umat untuk selalu
berjamaah dalam sholat. Pekerjaaan yang berat bila digotong bersama-sama akan
menjadi ringan, pekerjaan yang susah akan menjadi mudah.
5.
Sibuk memperbaiki diri sendiri, tidak memiliki waktu
untuk mencela orang lain.
Dalam Islam setiap perbuatan manusia mempunyai nilai positif bagi
kehidupan manusia. Karena itu setiap muslim tatkala melakukan kegiatan, harus
ada nilai tambah yang bermanfaat, baik bagi dirinya ataupun orang lain. Inilah
yang dinamakan amal shaleh. Ratusan kali Al-Qur’an mengulang-ulang kalimat amal shaleh, hal ini
menunjukkan betapa kerja keras mendapatkan perhatian yang sangat penting bagi
kehidupan setiap muslim.
Al-Qur’an
menggambarkan bahwa manusia memiliki peran besar yang dapat membawa kebangkitan
dan keruntuhan jalannya sejarah. Peran penting ini didasari karena manusia
memiliki unsur-unsur yang menyatu luar dan dalam sehingga perubahan sejarah dan
kehidupan manusia sendiri berada dipundaknya. Unsur luar adalah jasmani dan
bentuk lahiriah, sedangkan unsur dalam adalah perpaduan antara pandangan hidup,
tekad, kehendaknya. Meskipun kedua unsur itu harus sama mendapat pembinaan,
namun Al Qur’an menekankan bahwa unsur dalam harus dapat perhatian lebih. Allah
Berfirman dalam Q.S.
Ar. Ra’ad ayat 11 yang artinya: ”Sesungguhnya Allah tidak akan merobah keadaan
suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka”
Berdasarkan ayat ini, keberhasilan atau kegagalan tergantung pandangan
hidup yang dimilikinya. Ada yang terbatas, sempit dan sementara namun ada juga
yang luas dan jauh kedepan. Bagi muslim diajarkan untuk memiliki pandangan
hidup yang mendunia dan berwawasan keakhiratan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kerja
dalam pandangan Islam adalah mode of existence (bentuk keberadaan).
2. Al-Qur’an
mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif.
3. Di
dalam Al-Qur’an ditemukan setidaknya ada dua kata kunci untuk menjelaskan
konsep kerja dalam pandangan Islam yaitu amal dan sun’. Kedua kata
tersebut diungkap dalam Al-Qur’an lebih kurang 602 kali
4. Jika
merujuk kepada Al-Qur’an akan ditemukan beberapa tuntutan ajaran Islam tentang
etika kerja diantaranya adalah:
a. Niat
yang baik dan ikhlas.
b. Tidak
melalaikan kewajiaban kepada Allah SWT.
c. Suka
sama suka (tidak ada keterpaksaan).
d. Akhlak
yang baik.
e. Tidak
curang dan tidak pula memberi mudharat kepada orang lain.
f. Menerapkan
administrasi dan manajemen yang baik.
g. Obyek
usaha haruslah yang halal.
5. Sikap
kerja keras dan berusaha untuk mengubah nasib, rajin, dan sungguh-sungguh dalam
melakukan pekerjaan merupakan anjuran dan kewajiban bagi insan yang beragama
Islam